Informasi Lainnya

Makalah Sumber Hukum Islam (Istihsan Istishab Al-Mashilul Mursalah

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Ilmu Ushul Fiqih merupakan salah satu intsrumen penting yang harus dipenuhi oleh siapapun yang ingin melakukan mekanisme ijtihad dan istinbath hukum dalam Islam. Itulah sebabnya dalam pembahasan kriteria seorang mujtahid, penguasaan akan ilmu ini dimasukkan sebagai salah satu syarat mutlaknya untuk menjaga agar proses ijtihad dan istinbath  tetap berada pada koridor yang semestinya. Meskipun demikian, ada satu fakta yang tidak dapat dipungkiri bahwa penguasaan Ushul Fiqih tidaklah serta merta menjamin kesatuan hasil ijtihad dan istinbath para mujtahid. Disamping faktor eksternal Ushul Fiqih itu sendiri, seperti penentuan keshahihan suatu hadits misalnya, internal Ushul Fiqih sendiri pada sebagian masalahnya mengalami perdebatan (ikhtilaf) di kalangan para Ushuliyyin. Inilah yang kemudian dikenal dengan istilah al-Adillah(sebagian ahli Ushul menyebutnya: al-Ushul al-Mukhtalaf fiha, atau “Dalil-dalil yang diperselisihkan penggunaannya” dalam penggalian dan penyimpulan hukum.
Mashadirul Ahkam (sumber-sumber hukum) ada yang disepakati ada yang tidak. Jelasnya, ada Mashadir Ashliyah (sumber pokok) yaitu: Al-Qur’an dan Sunnah Rasul-Nya dan ada Mashadir Thabi’iyah (sumber yang dipautkan kepada sumber-sumber pokok) yang disepakati oleh jumhur fuqaha yaitu: ijma dan qiyas. Adapula yang di ikhtilafi oleh tokoh-tokoh ahli ijtihad sendiri yaitu: Istihsan, istishab, Maslahah mursalah, Urf, Saddudzari’ah, dan madzhab sahabi.

B. Tujuan Penulisan
Makalah ini akan menguraikan tentang hakikat Istihsan, Istishab, dan maslahah mursalah yang mencakup pengertian, macam-macamnya, kehujjahannya, kaidah-kaidahnya, dan contoh-contoh produk hukumnya.

BAB II
PEMBAHASAN


A. Istihsan 
Istihsan secara bahasa adalah kata bentukan (musytaq) dari al-hasan (apapun yang baik dari sesuatu). Istihsan sendiri kemudian berarti “kecenderungan seseorang pada sesuatu karena menganggapnya lebih baik, dan ini bisa bersifat lahiriah (hissiy) ataupun maknawiah, meskipun hal itu dianggap tidak baik oleh orang lain.”
Secara Harfiyah, Istihsan diartikan meminta berbuat kebaikan, yakni menghitung-hitung sesuatu dan menganggapnya kebaikan.(Kamus Lisan Al-Arab)
Menurut Istilah ulama ushul, istihsan adala sebagai berikut :
Menurut Al-Ghazali dalam kitabnya Al-Mustashfa juz I :137, Istihsan adalah segala sesuatu hal yang dianggap baik oleh mujtahid menurut akalnya. Al-Muwafiq Ibnu Qudamah Al-Hambali berkata, Istihsan adalah segala sesuatu keadilan terhadap hukum dan pandangannya karena adanya dalil tertentu dari Al-Quran dan As-Sunnah.
Abu Ishaq Asy-Syatibi dalam Madzhab Al-Maliki berkata, Istihsan adalah pengambilan suatu kemaslahatan yang bersifat juz’i dalam menanggapi dalil yang bersifat global.
Menurut Al-Hasan Al-Kurkhi Al-Hanafi, Istihsan adalah perbuatan adil terhadap suatu permasalahan hukum dengan memandang hukum yang lain, karena adanya suatu yang lebih kuat yang membutuhkan keadilan.

1.  Dasar Hukum Istihsan
Yang berpegang dengan dalil istihsan ialah Madzhab Hanafi, menurut mereka istihsan sebenarnya semacam qiyas, yaitu memenangkan qiyas khafi atas qiyas jali atau mengubah hukum yang telah ditetapkan pada suatu peristiwa atau kejadian yang ditetapkan berdasarkan ketentuan umum kepada ketentuan khusus karena ada suatu kepentingan yang membolehkannya. Menurut mereka jika dibolehkan menetapkan hukum berdasarkan qiyas jali atau maslahat mursalah, tentulah melakukan istihsan karena kedua hal itu pada hakekatnya adalah sama, hanya namanya saja yang berlainan.
Golongan lain yang  menggunakan  istihsan  ialah  sebagian Madzhab  Maliki  dan  sebagian Madzhab Hambali.Yang menentang istihsan dan tidak menjadikannya sebagai dasar hujjahialah yaituMadzhab Syafi’i karena Istihsan menurut mereka adalah menetapkan hukum syara’ berdasarkan keinginan hawa nafsu. Imam Syafi’i berkata: "Siapa yang berhujjah dengan istihsan berarti ia telah menetapkan sendiri hukum syara’ berdasarkan keinginan  hawa  nafsunya,  sedang  yang  berhak  menetapkan  hukum  syara’ hanyalah  Allah  SWT."  
2.  Kehujjahan Istihsan dan Pandangan Para Ulama
1. Ulama Hanafiyah
Abu Zahrah berpendapat bahwa Abu Hanfiyah banyak sekali menggunakan Istihsan. Begitu pula dalam keterangan yang ditulis dalam beberapa kitab Ushul yang menyebutkan bahwa Hanafiyah mengakui adanya Istihsan. Bahkan, dalam beberapa kitab fiqhnya banyak sekali terdapat permasalahan yang menyangkut Istihsan.
2. Ulama Malikiyah
Asy-Syatibi berkata bahwa sesungguhnya Istihsan itu dianggap dalil yang kuat dalam hukum sebagaimana pendapat Imam Maliki dan Imam Abu Hanafiah. Begitu pula menurut Abu Zahrah, bahwa Imam Malik sering berfatwa dengan menggunakan Istihsan.
3. Ulama Hanabilah
Dalam beberapa kitab Ushul disebutkan bahwa golongan Hanabilah mengakui adanya istihsan, sebagaimana dikatakan oleh Imam Al Amudi dan Ibnu Hazib. Akan tetapi, al-Jalal am-Mahalli dalam kitab Syarh Al-Jam’Al-Jawami’mengatakan bahwa istihsan itu diakui oleh Abu Hanafiah, namun ulama yang lain mengingkarinya termasuk didalamnya golongan Hanabilah.
4. Ulama Syafi’iyah
Golongan Al-Syafi’i secara masyhur tidak mengakui adanya Istihsan, dan mereka benar-benar menjauhi untuk menggunakannya dalam Istimbat hukum dan tidak menggunakannya sebagai dalil. Bahkan, Imam Syafi’i berkata “Barangsiapa yang menggunakan Istihsan beraarti ia telah membuat syari’at” Beliau juga berkata, “segala urusan itu telah diatur oleh Allah SWT, setidaknya ada yang menyerupainya sehingga dibolehkan menggunakan Qiyaz, namun tidak diperbolehkan menggunakan Istihsan.”
3.  Pengaruh Istihsan dalam Masalah Fiqih
Dibawah ini akan diberikan beberapa contoh tentang pengaruh istihsan dalam masalah fiqh :
a.  Lelaki yang menghadap perempuan dalam shalat
Berdasarkan sunah, para ulama sepakat bahwa apabila laki-laki dan perempuan melakukan shalat berjamaah, maka perempuan berada dibarisan belakang laki-laki. Tetapi mereka berbeda pendapat, mengenai seorang perempuan yang melaksanakan shalat berjamaah tepat berada pada barisan laki-laki atau laki-laki yang melaksanakan shalat jamaah tepat berada pada barisan perempuan.
1.      Abu Hanafiah dan sahabat-sahabatnya berpendapat, bahwa dianggap rusak shalat seorang laki-laki yang menghadap (berada dibelakang) perempuan, dan tidak dianggap rusak shalat perempuan yang menghadap (berada dibelakang) laki-laki. Dalam kitab Bidayah Al-Mubtadi (255:1), ia mengatakan bahwa apabila dihadapan laki-laki itu terdapat seorang perempuan dan keduanya sama-sama dalam satu shalat, maka shalat laki-laki itu adalah fasad (rusak) jika ia bertekad atau niat menjadikannya (perempuan) itu sebagai imam.
2.      Imam yang tiga (Malik, Asy-Syafi’i dan Ahmad),berpendapat bahwa shalat tersebut adalah makruh, namun shalat salah satu diantara mereka, baik perempuann maupun perempuan tidaklah rusak. Dalam Syarh Al-Kabir(333:1) dinyatakan bahwa shalat seorang laki-laki yang berada diantara barisan perempuan dan atau sebaliknya adalah makruh. Dan dalam Kitab Al-Hasysyiyat dipertegas bahwa baik laki-laki yang menghadap (di belakang) perempuan maupun perempuan yang menghadap (dibelakang) laki-laki adalah makruh.
3.      Dalam Kitab Al-Umm (150:1), Imam Asy-Syafi’i menyatakan bahwa apabila seseorang bermakmum kepada seorang laki-laki dan kepada seorang perempuan, sedangkan perempuan tersebut berdiri dibelakang imam, dan laki-laki berada dibelakang perempuan atau perempuan tersebut berdiri disamping imam, kemudian laki-laki itu bermakmum kepadanya dan ia berada disamping perempuan tersebut maka shalat bagi perempuan, laki-laki, dan imam tersebut adalah makruh, namun sholat salah satu diantara mereka tidak rusak.
4.      Ibnu Qudamah dalam kitabnya Al-Mughni (150:1), berpendapat bahwa jika terdapat seorang perempuan yang melaksanakan shalat pada barisan laki-laki, maka shalatnya itu adalah makruh, namun tidak menjadikannya batal.
Diantara argumen yang dikemukakan oleh para ulama diatas adalah sebagai berikut :
a.       Landasan madzhab Hanafi atas pendapat mereka mengenai rusaknya shalat seorang laki-laki yang berhadapan dengan perempuan adalah istihsan. Alasan istihsan itu berdasarkan perintah dari Rasulullah untuk mendahulukan laki-laki dan mengakhirkan perempuan dalam shalat, karena apabila laki-laki diakhirkan atau shalatnya menghadap kepada perempuan,maka ia dianggap tertinggal shalat fardu dan shalatnya pun yang menjadi rusak. Perintah yang dimaksud adalah sabda Rasulullah SAW, yang berbunyiAkhirkanlah mereka (perempuan) sepertinya Allah mengakhirkannya”.
b.      Alasan ulama yang menyatakan shalatnya makruh adalah mereka menganalogikan keadaan shalat dengan sesuatu yang terjadi diluar shalat, maka shalatnya tidaklah batal menurut Ijma’. Hal tersebut didasari oleh praktek yang dilakukan Rasulullah SAW, yaitu ketika Rasulullah sedang melaksanakan shalat, sementara ‘Aisyah tertidur dihadapannya.
c.       Dalam kitab Al-Umm (150-151), Asy-Syafi’i mengatakan bahwa sesungguhnya apa yang aku katakan ini diinformasikan pula oleh Ibnu ‘Uyainah kepadaku dari Zuhri dari Urwah dari ‘Aisyah ia berkata, “ketika Rasulullah sedang melaksanakan shalat malam, sedang aku berbaring antara beliau dan arak kiblat seperti berbaringnya jenazah. Asy-Syafi’i berkata,”jika seorang perempuan yang berada dihadapannya tidak merusak laki-laki yang melakukan shalat, maka perempuan tersebut baik dikanan atau kiri laki-laki itu maka tidak merusak shalat laki-laki itu”. (Al-Mughni hal.150, jilid II)
Zakat seluruh Harta tanpa Niat
Para ulama sepakat bahwa tidak diperbolehkan melaksanakan zakat tanpa dibarengi niat untuk memisahkan ukuran yang wajib dizakati. Akan tetapi, mereka berbeda pendapat mengenai kepada siapa sebenarnya diwajibkannya zakat atau bersedekah seluruh hartanya bila tidak disertai niat. Apakah kewajiban zakatnya menjadi gugur atau tetap berada pada tanggung jawabnya?
a.       Asy-Syafi’i dan Ahmad berpendapat bahwa kewajiban tersebut tidak gugur. Dalam kitab Al-Majmu’ (191:6) dikatakan bahwa jika seseorang menyedekahkan (menzakatkan) seluruh hartanya dengan tidak disertai dengan niat zakat, maka zaakat tersebut tidak gugur.
b.      Ibnu Qadamah dalam kitabnya Al- Mughni (377:2), mengatakan bahwa walaupun hukum seseorang menyedekakahkan semua hartanya itu adalah sunah, tetapi jika ia tidak berniat zakat, maka ia tetap tidak  mendapatkan pahala zakat.
c.       Abu Hanifah dan rekan-rekannya berpendapat bahwa zakat tersebut adalah gugur. Ia menyatakan dalam kitab Al-Hidayah (493:1), bahwa barang siapa yang berzakat dengan seluruh hartanya, tetapi ia tidak menyertainya dengan niat zakat maka gugurlah kewajibannya.
Diantara argumen yang dikemukakan oleh mereka adalah :
a.       Alasan mereka yang mengatakan bahwa kewajiban zakat itu tidak gugur karena orang tersebut belum berniat dengan apa yang disedekahkannya itu untuk membayar hal yang wajib atau fardhu. Maka zakatnya tidak gugur. Mereka menganalogikan hal tersebut pada shalat, yaitu jika seseorang melakukan shalat seperti apa yang mereka kehendaki dan ia tidak berniat shalat fardhu atas shalatnya itu maka shalatnya tidaklah gugur sebelum ia melakukan shalat tersebut dengan niat shalat fardhu. Sedekah tersebut bisa jatuh pada fardhu juga subbah. Oleh karena itu, niatnya harus ditentukan.
b.      Asy-Stafi’i dalam kitabnya Al-Umm (18:2), mengatakan bahwa apabila dalam bersedekah itu tidak ditentukan fardhu dan sunnahnya, mamka sebenarnya Allah SWT itu sangat mengetahui akan hal itu.
c.       Dalam kitab Al-Majmu’ (191:6), An-Nawani mengatakan bahwa perbuatan tersebut tidak murni sebagai fardhu dan jug tidak sah, seperti halnya shalat.
d.      Ibnu Qudamah dalam kitabnya Al-Mughni (377:2) berpendapat bahwa menyedekahkan (zakat) semua harta dengan tidak disertai niat zakat adalah tidak sah, karena tidak disertai dengan niat fardhu. Perbuatan tersebut juga tidak mendapatkan pahala. Hal tersebut sama halnya apabila seseorang melakukan shalat 100 rakaat tanpa menentukan niat bahwa shalat tersebut adalah shalat fardhu atau shalat sunnah.
e.       Alasan golongan Hanafi mengenai gugurnya kewajban itu adalah Istihsan. Pengarang kitab Al-‘Inayaj (126:5) berpendapat bahwa berdasarkan Qiyaz, kewajiban tersebut tidak gugur, karena sunnah dan fardhu keduanya merupakan Syari’at. Oleh karena itu, harus ditentukan seperti dalam shalat.
Alasan menurut dalil istihsan tentang zakat tersebut adalah setelah jelasnya  kewajiban tentang bagian dari seluruh hartanya, yaitu 4/10, dan ukuran tesebut merupakan ketentuan dari keseluruhan. Apabila sesuatu telah ditentukan, maka tidak perlu penenuan lagi, karena adanya fardhu itu telah membayar keseluruhan dan penentuan kefardhuan itu sendiri tuntuk mempersempit antara bagian yang harus dilaksanakan dengan bagian yang lainnya.

Jenis Istihsan
a. Istihsan Nash
Istihsan Nash ialah istihsan yang sandaran nya adalah nash. Contohnya jual belibeli salam/indent.
b. Istihsan al-Dharury
Istihsan al-Dharurah adalah istihsan yang sandarannya adalah dharurat. Contohnya : tidak diberlakukannya hukum potong tangan terhadap pencuri, karena pencurian dilakukan secara terpaksa/untuk mempertahankan hidup, seperti yang terjadi pada masa Umar ketika terjadi tahun kelaparan (‘amul maja’ah).
c.   Istihsan ‘Urf
Istihsan ‘Urf, yaitu istihsan yang sandarannya ‘urf. Contohnya : jual beli mu’athah di swalayan.
d.  Istihsan Istislahi, yaitu qiyas yang sandarannya maslahah
Dalam hal ini ulama berpindah dari dalil yang biasa/umum digunakankepada dalil lain yang khusus, berdasarkan pertimbangan maslahah. Contoh: Penerapan revenue sharing dalam sistem bagi hasil (profit distribution) di bank syariah. Menurut kebiasaan umum yang berlaku digunakan PLS, namun berdasarkan maslahah diterapkanRevenue sharing.
e. Istihsan Qiyasi, adalah istihsan yang sandarannya adalah qiyas khafi
Dalam istihsan ini seorang ulama meninggalkan qiyas jali kemudian berpegang kepada qiyas khafi karena ada kemaslahatan. Contoh: Bersihnya makanan/minuman sisa burung  buas  (elang  dan  gagak).  Menurut  qiyas  jali,  sisa tersebut  najis  karena meng-qiyas-kannya kepada binatang buas yang lain yang dagingnya sama-sama haram dimakan. Namun, dalam hal kasus ini, ia di-qiyas-kan kepada burung biasa (qiyas khafi), sehingga sisa minuman/makananya dihukumkan bersih.

B. Istishhab
Istishhab secara bahasa adalah menyertakan, membawa serta dan tidak melepaskan sesuatuJika seseorang mengatakan: maka itu artinya: aku membuat buku itu ikut serta bersamaku dalam perjalananku.
Adapun secara terminologi Ushul Fiqih, -sebagaimana umumnya istilah-istilah yang digunakan dalam disiplin ilmu ini- ada beberapa definisi yang disebutkan oleh para ulama Ushul Fiqih, diantaranya adalah:
1.      Definisi al-Asnawy (w. 772H) yang menyatakan bahwa “(Istishhab) adalah penetapan (keberlakukan) hukum terhadap suatu perkara di masa selanjutnya atas dasar bahwa hukum itu telah berlaku sebelumnya, karena tidak adanya suatu hal yang mengharuskan terjadinya perubahan (hukum tersebut).
2.      Sementara al-Qarafy (w. 486H) –seorang ulama Malikiyah- mendefinisikan istishhab sebagai “keyakinan bahwa keberadaan sesuatu di masa lalu dan sekarang itu berkonsekwensi bahwa ia tetap ada (eksis) sekarang atau di masa datang.”
Definisi ini menunjukkan bahwa istishhab sesungguhnya adalah penetapan hukum suatu perkara –baik itu berupa hukum ataupun benda- di masa kini ataupun mendatang berdasarkan apa yang telah ditetapkan atau berlaku sebelumnya. Seperti ketika kita menetapkan bahwa si A adalah pemilik rumah atau mobil ini –entah itu melalui proses jual-beli atau pewarisan-, maka selama kita tidak  menemukan ada dalil atau bukti yang mengubah kepemilikan tersebut, kita tetap berkeyakinan dan menetapkan bahwa si A-lah pemilik rumah atau mobil tersebut hingga sekarang atau nanti. Dengan kata lain, istishhab adalah melanjutkan pemberlakuan hukum di masa sebelumnya hingga ke masa kini atau nanti

Kedudukan Istishhab Diantara Dalil-dalil yang Lain
Banyak ulama yang menjelaskan bahwa secara hirarki ijtihad, istishhab termasuk dalil atau pegangan yang terakhir bagi seorang mujtahid setelah ia tidak menemukan dalil dari al-Qur’an, al-Sunnah, ijma’ atau qiyas. Al-Syaukany misalnya mengutip pandangan seorang ulama yang mengatakan:
“Ia (istishhab) adalah putaran terakhir dalam berfatwa. Jika seorang mufti ditanya tentang suatu masalah, maka ia harus mencari hukumnya dalam al-Qur’an, kemudian al-Sunnah, lalu ijma’, kemudian qiyas. Bila ia tidak menemukan (hukumnya di sana), maka ia pun (boleh) menetapkan hukumnya dengan ‘menarik pemberlakuan hukum yang lalu di masa sekarang’ (istishhab al-hal). Jika ia ragu akan tidak berlakunya hukum itu, maka prinsip asalnya adalah bahwa hukum itu tetap berlaku…”

Perbedaan Pendapat (Ikhtilaf) Ulama dalam Kehujjiyahan Istishhab
Dalam menyikapi apakah istishhab dapat dijadikan sebagai dalil dalam proses penetapan hukum, para ulama Ushul Fiqih terbagi dalam 3 pendapat:
Pendapat pertama, bahwa istishhab adalah dalil (hujjah) dalam penetapan ataupun penafian sebuah hukum. Pendapat ini didukung oleh Jumhur ulama dari kalangan Malikiyah, Hanabilah, mayoritas ulama Syafi’iyah dan sebagian Hanafiyah.
1.       Firman Allah:
“Katakanlah (wahai Muhammad): ‘Aku tidak menemukan dalam apa yang diwahyukan kepadaku sesuatu yang diharamkan untuk dimakan kecuali jika adalah bangkai, atau darah yang mengalir, atau daging babi…” (al-An’am:145)
Ayat ini menurut mereka menunjukkan bahwa prinsip asalnya segala sesuatu itu hukumnya mubah hingga datangnya dalil yang menunjukkan pengharamannya. Hal ini ditunjukkan dengan Firman Allah: “Katakanlah (wahai Muhammad): ‘Aku tidak menemukan…” . Pernyataan ini menunjukkan bahwa ketika tidak ada ketentuan baru, maka ketentuan lama-lah yang berlaku.
2.      Rasulullah saw bersabda:
Sesungguhnya syetan mendatangi salah seorang dari kalian (dalam shalatnya) lalu mengatakan: ‘Engkau telah berhadats! Engkau telah berhadats!’ Maka (jika demikian), janganlah ia meninggalkan shalatnya hingga ia mendengarkan suara atau mencium bau.” (HR. Ahmad)
Dalam hadits ini, Rasulullah saw memerintahkan kita untuk tetap memberlakukan kondisi awal kita pada saat mulai mengerjakan shalat (yaitu dalam keadaan suci) bila syetan membisikkan keraguan padanya bahwa wudhu’nya telah batal. Bahkan Rasulullah melarangnya untuk meninggalkan shalatnya hingga menemukan bukti bahwa wudhu’nya telah batal; yaitu mendengar suara atau mencium bau. Dan inilah hakikat istishhab itu.
3. Ijma’.
Para pendukung pendapat ini menyatakan bahwa ada beberapa masalah fiqih yang telah ditetapkan melalui ijma’ atas dasar istishhab. Diantaranya adalah bahwa para ulama telah berijma’ bahwa jika seseorang ragu apakah ia sudah bersuci, maka ia tidak boleh melakukan shalat, karena dalam kondisi seperti ini ia harus merujuk pada hukum asal bahwa ia belum bersuci. Ini berbeda jika ragu apakah wudhu’nya sudah batal atau belum, maka dalam kasus ini ia harus berpegang pada keadaan sebelumnya bahwa ia telah bersuci dan kesucian itu belum batal
4. Dalil ‘aqli.
Diantara dalil ‘aqli atau logika yang digunakan oleh pendukung pendapat ini adalah:
·         Bahwa penetapan sebuah hukum pada masa sebelumnya dan tidak adanya faktor yang menghapus hukum tersebut membuat dugaan keberlakuan hukum tersebut sangat kuat (al-zhann al-rajih). Dan dalam syariat Islam, sebuah dugaan kuat (al-zhann al-rajih) adalah hujjah, maka dengan demikian istishhab adalah hujjah pula.
·         Disamping itu, ketika hukum tersebut ditetapkan pada masa sebelumnya atas keyakinan, maka penghapusan hukum itu pun harus didasarkan atas keyakinan, berdasarkan kaidah al-yaqin la yazulu/yuzalu bi al-syakk.

Pendapat kedua, bahwa istishhab tidak dapat dijadikan sebagai hujjah secara mutlak, baik dalam menetapkan hukum ataupun menafikannya. Ini adalah pendapat mayoritas ulama Hanafiyah.
Di antara dalil dan pegangan mereka adalah
1.      Menggunakan istishhab berarti melakukan sesuatu dengan tanpa landasan dalil. Dan setiap pengamalan yang tidak dilandasi dalil adalah batil. Maka itu berarti bahwa istishhab adalah sesuatu yang batil.
2.      Istishhab akan menyebabkan terjadinya pertentangan antara dalil, dan apapun yang menyebabkan hal itu maka ia adalah batil. Ini adalah karena jika seseorang boleh menetapkan suatu hukum atas dasar istishhab, maka yang lain pun bisa saja menetapkan hukum yang bertentangan dengan itu atas dasar istishhab pula.
            Pendapat ketiga, bahwa istishhab adalah hujjah pada saat membantah orang yang memandang terjadinya perubahan hukum yang lalu –atau yang dikenal dengan bara’ah al-dzimmah- dan tidak dapat sebagai hujjah untuk menetapkan suatu hukum baru. Pendapat ini dipegangi oleh mayoritas ulama Hanafiyah belakangan dan sebagian Malikiyah.
Dalam hal ini yang menjadi alasan mereka membedakan kedua hal ini adalah karena dalil syar’i hanya menetapkan hukum itu di masa sebelumnya, dan itu tidak bisa dijadikan sebagai landasan untuk menetapkan hukum baru di masa selanjutnya.

C.  Maslahah al mursalah atau istihlah
Maslahah Mursalah
  1. Pengertian Maslahah Mursalah
Maslahah mursalah menurut lughat terdiri atas dua kata, yaitu maslahah dan mursalah. Kata mursalah berasal dari kata bahasa arab   صَلَحَ – يَصْلُحُ  menjadi  صُلْحًا  atauمَصْلَحَةً    yang berarti sesuatu yang mendatangkan kebaikan, sedangkan kata mursalah berasal  dari kata kerja yang ditafsirkan sehingga menjadi isim maf’ul, yaitu:  اَرْسَلَ – يُرْسِلُ – اِرْسَالاً- مُرْسَلٌ menjadiمُرْسَل  yang berarti diutus, dikirim atau dipakai (dipergunakan). Perpaduan dua kata menjadi “maslahah mursalah” yang berarti prinsip kemaslahatan (kebaikan) yang dipergunakan menetapkan suatu hukum islam, juga dapat berarti suatu perbuatan yang mengandung nilai baik (manfaat).
Secara etimologi, ahli ushul fiqih mengatakan bahwa maslahah mursalah ialah menetapkan suatu hukum bagi masalah yang tidak ada nashnya dan tidak ada ijma, berdasarkan kermaslahatan murni atau masalah yang tidak dijelaskan syariat dan dibatalkan syariat.
Disisi lain A. Hanafi, M.A mendefinisikan maslahah mursalah adalah jalan kebaikan (maslahah) yang tidak disinggung syara’ untuk mengerjakannya atau meninggalkannya, sedang apabila dikerjakan akan membawa manfaat atau menghindarkan mudharat. Sedangkan menurut Mustafa Ahmad Al-Zarqa, maslahah mursalah adalah maslahah yang masuk dalam pengertian umum yakni (menarik manfaat dan menolak mudharat). Alasannya adalah syariat Islam datang untuk merealisasikan masalah dalam bentuk umum. Nash-nash dan dasar-dasar syariat Islam telah menetapkan kewajiban memelihara kemaslahatan dan memperhatikannya ketika mengatur berbagai aspek kehidupan.
Dari pengertian beberapa pendapat diatas dapat diambil suatu pemahaman, bahwasanya maslahah mursalah adalah memberikan hukum terhadap suatu masalah atas dasar kemaslahatan yang secara khusus tidak tegas dinyatakan oleh nash, yang apabila dikerjakan jelas membawa kemaslahatan yang bersifat umum dan apabila ditinggalkan jelas akan mengakibatkan kemaslahatan yang bersifat umum pula.
  1. Macam-macam Maslahah Mursalah
Berdasar dari beberapa pengertian maslahah mursalah, para ahli Ushul Fiqih mengemukakan beberapa pembagian maslahah, jika dilihat dari beberapa segi diantaranya:
  1. Dari segi keberadaan Maslahah menurut Syara’
    1. Maslahah al-Mu’tabarah, yaitu kemaslahatan yang didukung oleh suyara’ meksudnya ada dalil khusus yang menjadi dasar bentuk dan jenis kemaslahatan tersebut.
    2. Maslahah Al-Mughah; kemaslahatan yang ditolak syara’, karena bertentangan dengan ketentuan syara’,
    3. Maslahah Mursalah; kemaslahatan yang keberadaannya tidak didukung syara’ dan tidak pula dibatalkan/ditolak syara’melalui dalil-dalil yang rinci. Kemaslahatan dalam bentuk ini terbagi atas dua yaitu:
à        Maslahah al-ghariban, yaitu kemaslahatan yang asing atau kemaslahatan yang sama sekali tidak ada dukungan dari syara’.
à        Maslahah al-mursalah, kemaslahatan yang tidak didukung oleh serkumpulan makna nash (ayat atau hadist)
  1. Dari segi Kandungan Maslahah
    1. Maslahah al-Ammah, yaitu kemaslahatan umum yang menyangkut kepentingan orang banyak. Kemaslahatan umum ini tidak berarti  untuk semua kepentingan orang , tetapi bisa berbentuk kepentingan mayoritas ummat/kelompok.
    2. Maslahah al-khasha, yakni kemaslahatan pribadi seperti kermaslahatan yang berkaitan dengan pemutusan hubungan perkawinan seseorang yang dinyatakan hilang (magfud)
Pentingnya pembagian kedua  kemaslahatan ini berkaitan dengan mana yang harus didahulukan apabila kemaslahatan umum bertentangan dengan kemaslahatan pribadi. Dalam pertentangan ke dua kemaslahatan ini, Islam mendahulukan kemaslahatan umum daripada kemaslahatan pribadi.
  1. Dari segi berubah atau tidaknya Maslahah
    1. Maslahah al-Tsabitah, yakni kemaslahatan yang bersifat tetap, tidak berubah sampai akhir zaman. Misalnya kewajiban shalat, puasa, zakat, dan haji.
    2. Maslahah al-Mutagayyirah, yakni kemaslahatan yang berubah-ubah sesuai dengan perubahan tempat, waktu, dan subjek hukum.
Pentingnya pembagian ini menurut Mustafa al-Syalabi, dimaksudkan untuk memberi batasan kemaslahatan mana yang bisa berubah dan tidak.
Sesungguhnya masih ada pembagian maslahah yang dikemukakan para ahli ushul fiqih yakni dilihat dari segi kualitas dan kepentingan kemaslahatan, tapi ini akan diuraikan pada tingkatan maslahah, karena pembagian maslahah ini mewakili macam-macam kemaslahatan yang telah dijelaskan tadi.
  1. 3. Tingkatan-tingkatan Maslahah Mursalah
Para ahli Ushul sepakat bahwa syariat Islam bertujuan untuk memelihara 5 hal yakni: (1) memelihara agama, (2) memelihara jiwa, (3)memelihara akal, (4) memeliharar keturunanan, dan (5) memelihara harta. Sementara Hamka Haq dalam bukunya “Falsafat Ushul Fiqih” mengemukakan bahwa terdapat 6 aspek kemaslahatan yang menjadi tujuan syariat diantaranya, (1) memelihara agama, (2) memelihara jamaah, (3) memelihara jiwa, (4) memelihara akal, (5) memelihara keturunan dan (6) memelihara harta benda. Aspek ini diurut berdasarkan prioritas urgensinya. Adapun mengenai kemaslahatan setiap aspek tersebut dibedakan dalam tiga tingkatan yakni:
  1. Tingkatan pertama; maslahah dharuriyah
Maslahah dharuriyah ialah segala apek yang bersifat esensial bagi kehidupan manusia, dan karena itu wajib ada sebagai syarat mutlak terwujudnya kehidupan dan kemaslahatan manusia, baik ukhrawi maupun  duniawi.
  1. Tingkatan kedua; maslahah hajiyyah
Maslahah hajiyyah ialah segala yang menjadi kebutuhan primer (pokok) manusia dalam hidupnya, agar hidupnya bahagia dan sejahtera dunia akhirat serta terhindar dari kemelaratan. Jika kebutuhan ini tidak diperoleh maka kehidupan manusia mengalami kesulitan meskipun kehidupan mereka tidak sampai punah.
  1. c. Tingkatan ketiga ; Maslahah Tasniyah
Yakni, suatu kebutuhan hidup yang sifatnya komplementer (sebagai pelengkap) dan lebih menyempurnakan kesejahteraan hidup manusia. Jika kemaslahatan ini tidak terpenuhi maka hidup manusia kurang indah dan kurang nikmat, kendatipun tidak sampai menimbulkan kemudharatan dan kebinasaan hidup.
Seperti telah dikemukakan, masing-masing dari enam perkara yang telah disebutkan sebagai tujuan pokok syariat pada asasnya dapat dilihat dari tiga sisi tersebut. Misalnya dalam aspek pemeliharaan agama, maka yang menjadi dharuriyah adalah aqidah atau kepercayaan kepada Tuhan. Tanpa aqidah yang benar maka agama tidak mungkin tumbuh dan berkembang, sebab tidak ada sarana sekali unsur agama yang dapat dikabulkan oleh Allah SWT tanpa aqidah tauhid. Sementara itu, guna memudahkan manusia menyalurkan naluri tauhidnya, maka diadakanlah oleh syariat sejumlah praktek ibadah ritual. Dalam ibadah itulah setiap manusia diharapkan akan semakin menghayati amal tauhidnya kepada Tuhan. Karena itu, jika tauhid diwajibkan maka dengan sendirinya ibadah yang mengatur kepada memperkokoh tauhid itupun turut serta situasi lainnya, ibadah seringkali dibolehkan bahkan dianjurkan untuk ditinggalkan. Lihat saja, mengapa seorang wanita haid dilarang bershalat dan berpuasa? Mengapa shalat dhuhur dapat digabung atau dikurangi rakaatnya dalam jama’ qashar. Semua itu disebabkan karena ibadah itu sangat relatif, artinya sangat terkait dengan tempat, waktu dan situasi. Dan sebagai pelengkap atau tahsisninya menyangkut agama ialah segala hal yang menjadi penunjang terlaksananya ibadah dan lebih menambah nikamatnya ibadah itu, misalnya thaharah.
Mengenal tingkatan-tingkatan kemaslahatan dan karakteristiknya yang bersifat kully atau mutlak dan juz’iy atau nisbi (relatif) adalah sangat penting terutama dalam menetapkan hukum pada tiap-tiap perbuatan dan persoalan yang dihadapi manusia. Misalkan saja, memelihara jiwa itu bersifat dharuriy yang hukumnya mencapai derajat wajib lidzhati, karenanya hukum tersebut tidak  berubah kecuali jika diperhadapkan pada soal lain yang  sifat dharuriy-nya lebih tinggi, misalnya demi memelihara aqidah maka jiwa dapat saja dikorbankan. Sementara itu,  memelihara bersifat hajiyah, sehingga hukumnya hanya sampai pada derajat wajib lighayrih, dalam arti wajib karena terkait dengan persoalan lain, yakni ia terkait dengan persoalan hidup yang sifatnya dharuriyah.
Selain itu menempatkan kehidupan bernegara sebagai cara hidup berjamaah adalah wajib secara dharuriyah, karena  hal ini pada posisi terpenting kedua sesudah pemeliharaan aqidah, maka syariat mengharuskan seseorang mengorbankan jiwanya demi membela bangsa dan negaranya. Dalam kaitannya dengan perlunya negara itu, haruslah ada seorang pemimpin dan lembaga-lembaga negara lainnya. Tetapi kedudukan lembaga-lembaga negara yang  mencakup pemimipin dan waliyul amri, tidak bersifat dharuriyah, tetapi hanya bersifat hajiyah, yang diperlukan guna memudahkan  terselenggaranya suatu jamaah (negara) dengan baik. Tanpa institusi-institusi itu, negara tidak dapat terselenggara dengan baik. Akan tetapi, karena sifatnya hanyalah hajiyyah, maka syariat tidak membenarkan adanya korban jiwa demi mempertahankan kedudukan seorang pemimpin.
Dari uraian-uraian di atas dapat difahami bahwa ketiga kemaslahatan di atas adalah dasar-dasar yang diperhatikan oleh syara’ dalam mengukur teori  maslahah mursalah, baik macam maupun tingkatannnya. Ketiganya perlu dibedakan sehingga seorang muslim dapat menentukan prioritas dalam mengambil suatu kemaslahatan. Dimana kemaslahatan dharuriyah harus lebih didahulukan daripada kemaslahatan hajiyyah dan kemaslahatan hajiyyah lebih didahulukan dari kemaslahatan tahsiniyah


















BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Istihsan adalah mengambil maslahah yang merupakan bagian dalam dalil yang bersifat kully(menyeluruh) dengan mengutamakan al-istidlal al-mursal daripada qiyas. Dari Ta’rif di atas, jelas bahwa al-istihsan lebih mementingkan maslahah juz’iyyah atau maslahah tertentu dibandingkan dengan dalil kully atau dalil yang umum atau dalam kata lain sering dikatakan bahwa al-istihsan adalah beralih dari satu qiyas ke qiyas yang lain yang dianggap lebih kuat dilihat dari tujuan syari’at diturunkan. Tegasnya, al-istihsan selalu melihat dampak sesuatu ketentuan hukum, jangan sampai membawa dampak merugikan tapi harus mendatangkan maslahah atau menghindari madarat, namun bukan berarti istihsan adalah menetapkan hukum atas dasar ra’yu semata, melainkan berpindah dari satu dalil ke dalil yang lebih kuat yang kandungannya berbeda. Dalil kedua ini dapat berwujud ijma’, ‘urf  atau al-maslahah al-mursalah
kembali mencermati pandangan dan argumentasi ulama yang menolak istihsān, kita dapat melihat bahwa yang mendorong mereka menolaknya adalah karena kehati-hatian dan kekhawatiran mereka jika seorang mujtahid terjebak dalam penolakan terhadap nash dan lebih memilih hasil olahan logikanya sendiri. Dan kekhawatiran ini telah terjawab dengan penjelasan sebelumnya, yaitu bahwa istihsān sendiri mempunyai batasan yang harus diikuti. Dengan kata lain, para pendukung pendapat kedua ini sebenarnya hanya menolak istihsān yang hanya dilandasi oleh logika semata, tanpa dikuatkan oleh dalil yang lebih kuat
Berbagai pendefinisian yang disebutkan di kalangan para ahli dan beberapa pendapat yang terjadi di kalangan para ulama’ terhadap istishab, kontradiksi terhadap polemik kehujjaannya atas paradigma dalil hukumnya maka istishab itu tetap memberlakukan ketetapan hukum yang telah ditetapkan sesuatu yang telah ada sejak awal, sampai ditemukan adanya ketetapan hukum lain yang merubahnya,  sebab istishab merupakan jalan keluar terakhir dalam berfatwa, sebab seseorang mufti jika ditanya tentang sesuatu khusus yang sedang terjadi maka ia diharuskan untuk memberikan putusan dengan menggunakan al-Qur’an, lalu al-Hadist, ijma’ dan qiyas.  Dalil hukum istishab dalam kedudukan yang urgen adalah menuju pengcapaian yang  baik. Sehingga nilai-nilai istishab itu sendiri  dimanifestasikan sesuai dengan kebutuhan umat manusia dalam menegakkan syariat dalam kode pengejawantahan ilmu agama dan muslim sempurna.
Menerima maslahat sebagai hujjah haruslah melalui persyaratan tertentu, minimalnya tidak bertentangan dengan al-Qur’an, as-Sunnah dan ijma’, harus mengandung kemaslahatan, dan kemaslahatan itu sejalan dengan tujuan penetapan hukum Islam yaitu; dalam rangka memilihara agama, akal, jiwa, harta dan keturunan atau kehormatan.Sedangkan ruang lingkup operasionalnya hanya di bidang muamalah dan sejenisnya, tidak berlaku di bidang ibadah.Paraulama juga telah membagi maslahah dari beberapa segi diantaranya: dari segi kualitas dan kepentingan kemaslahatan, dari segi kandungan maslahah, dari segi berubah atau tidaknya maslahah, dan dari segi keberadaan maslahah.
Jadi, sebenarnya akar perbedaan pendapat mengenai maslahah muraslah sebagai hujjah syar’iyah terletak pada sisi pandangan mereka terhadap maslahah mursalah. Golongan yang dimotori Imam Malik serta Imam Ahmad Bin Hambal berpendapat bahwa maslahat yang mereka pakai berpijak pada syarat-syarat yang dibenarkan oleh syara’ bukan berdasarkan hawa nafsu atau menyimpang dari kebenaran sebagaimana pandangan kelompok yang menentang kehujjahan maslahah mursalah. Sedangkan golongan yang diwakili madzhab Hanafi, Syafi’i dan Madzhab Zahiri menekankan kehati-hatian dengan berbagai persyaratan maslahah yang sesuai dengan tujuan syari’at. Banyak persoalan baru bisa dikategorikan Maslahah Mursalah. Artinya persoalan baru itu memang mengandung maslahat dan dibutuhkan manusia dalam membangun kehidupan mereka, tetapi tidak ditemukan dalil yang mengakui ataupun menolaknya. Seiring dengan perjalanan waktu, hal ini akan terus berlangsung sepanjang masa dengan berbagi perbedaan latar belakang sosial budaya. Dengan demikian, untuk mengatasinya persoalan ini tidak lain tentulah pendekatan yang digunakan hanyalah dengan pendekatan maslahah mursalah.








DAFTAR PUSTAKA


Abdul Wahab Khalaf, “Ilmu Ushul al-fikih ,Maktabah Al-Dakwah al-Islamiyah, cetakan VIII,thn 1991
Abdul Wahab Khallaf, “Mashadir al-Tasyri’ al-Islami Fima La Nassafih”. (Dar al-Qalam, cet. III, th. 1972),
Abu Ishak Al-Syatibi, “al-Muwaffaqat Fi Ushul al-Syariah” ,Beirut : Dar al-Makrifah, jilid IV, th. 1975.
Al-Banani, “Hasyiyah al-Banani ala Syarh al-Mahalli ala matn Jam’i al-Jawami”. (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, jilid II, th.1983
Al-Syarahsi. “Ushul al-Syarahsi”. (Beirut : Dar al-Kutub al-Ilmiyah, jilid II. Th.1993
Amir Syarifuddin, Ushul fiqh, (Jakarta: Logos, 2001
Hasbi as-Shiddieqy, Pokok-pokok pegangan Imam-Imam Mazhab Dalam Membina Hukum    Islam”. (Jakarta: Bulan Bintang, jilid I, cet 1, 1997
Jalal al-Din Abd al-Rahman al-Suyuthi, “al-Asybah wa al-Nazhair”,(Singapura: Sulaiman Mar’i, T.Th
Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqih, Pustak Firdaus :Jakarta, 1999
Muhammad al-Said Ali Abdul Rabuh, “Buhust fi al-adillah al-Mukhtalaf fiha inda al-Ushuliyin”, Mesir : Matba’ al-Sa-adah, th. 1980,
Suratmaputra, Ahmad Munif, Filsafat Hukum Islam Al-Ghazali: Mashlahah-Mursalah dan Relevansinya dengan Pembaharuan Hukum Islam, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2002
Totok Jumantoro dan Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Ushul Fikih, Amzah,  Jakarta, 2005.
Wahbah al-Zuhaili, “Ushul al-Fiqh al-Islmi”, (Beirut: Dar al-Fikr, jilid II Th. 1986


Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel