Informasi Lainnya

HUKUM SYAR’I LENGKAP FOOTNOTE


BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
Segala amal perbuatan manusia, perilaku dan tutur katanya tidak dapat lepas dari ketentuan hukum syari'at, baik hukum syari'at yang tercantum di dalam Quran dan Sunnah, maupun yang tidak tercantum pada keduanya, akan tetapi terdapat pada sumber lain yang diakui syari'at. Sebagaimana yang dikatakan imam Ghazali, bahwa mengetahui hukum syara' merupakan buah (inti) dari ilmu Fiqh dan Ushul fiqh. Sasaran kedua di siplin ilmu ini memang mengetahui hukum syara' yang berhubungan dengan perbuatan orang mukallaf. Meskipun dengan tinjauan yang berbeda. Ushul fiqh meninjau hukum syara' dari segi metodologi dan sumber-sumbernya, sementara ilmu fiqh meninjau dari segi hasil penggalian hukum syara', yakni ketetapan Allah yang berhubungan dengan perbuatan orang-orang mukallaf, baik berupa igtidha (tuntutan perintah dan larangan), takhyir (pilihan), maupun berupa wadhi (sebab akibat), yang di maksud dengan ketetapan Allah ialah sifat yang telah diberikan oleh Allah terhadap sesuatu yang berhubungan dengan orang-orang mukallaf. Seperti hukum haram, makruh, wajib, sunnah, mubah, sah, batal, syarat, sebab, halangan (mani') dan ungkapan lain yang akan kami jelaskan pada makalah ini yang kesemuanya itu merupakan objek pembahasan ilmu Ushul fiqh.[1]
1.2  Tujuan Penulisan
1.      Apa pengertian hukum syar’i?
2.      Apa saja  macam-macam hukum syar’i?
3.      Seperti apa pembagian macam-macam hukum?

 BAB II
PEMBAHASAN
     A.    Pengertian Hukum Syar’i
            Secara etimologi kata hukum (al-hukm) berarti “mencegah” atau “memutuskan”. Menurut terminologi Ushul Fiqh, hukum (al-hukm) berarti ”khitab” (kalam) Allah yang mengatur amal perbuatan orang mukalaf, baik berupa iqtidla (perintah, larangan, anjuran untuk melakukan atau anjuran untuk meninggalkan), takhyir (kebolehan bagi orang mukallaf untuk memilih antara melkakukan dan tidak melakukan), atau wadl (ketentuan yang menetapkan sesuatu sebagai sebab, syarat, atau mani’ (penghalang).[2]
            Menurut istilah ahli fiqh, yang disebut hukum adalah khitab Allah dan sabda Rasul. Apabila disebut hukum syara’, maka yang dimaksud ialah hukum yang berpautan dengan manusia, yakni yang dibicarakan dalam ilmu fiqh, bukan hukum yang berpautan dengan akidah dan akhlaq.[3]
            Bila dicermati dari definisi di atas, ditarik kesimpulan bahwa ayat-ayat atau hadis-hadis hukum dapat dikategorikan dalam beberapa macam:
a.Perintah untuk melakukan suatu perbuatan. Perbuatan mukalaf yang diperintahkan itu sifatnya wajib.
b. Larangan melakukan suatu perbuatan. Perbuatan mukalaf yang dilarang itu sifatnya haram.
c.  Anjuran untuk melakukan suatu perbuatan, dan perbuatan yang dianjurkan untuk dilakukan itu sifatnya mandub.
d.  Anjuran untuk meninggalkan suatu perbuatan. Perbuatan yang dianjurkan untuk ditinggalkan itu sifatnya makruh.
e.  Memberi kebebasan untuk memilih antara melakukan atau tidak melakukan, dan perbuatan yang diberi pilihan untuk dilakukan atau ditinggalkan itu sifatnya mubah.
 f.   Menetapkan sesuatu sebagai sebab.
 g. Menetapkan sesuatu sebagai syarat.
 h.  Menetapkan sesuatu sebagai mani’ (penghalang).
 i.    Menetapkan sesuatu sebagai kriteria sah dan fasad/batal.
 j.    Menetapkan sesuatu sebagai kriteria ‘azimah dan rukhshah.
      B.     Macam-macam Hukum Syar’i
            Secara garis besar para Ulama ushul fiqh membagi hukum kepada dua macam, yaitu:
·  hukum taklifi
·  hukum wadh’i
            Hukum taklifi menurut para ahli ushul fiqh adalah : ketentuan-ketentuan Allah dan Rasul-Nya yang berhubungan langsung dengan perbuatan mukalaf,baik dalam bentuk perintah, anjuran untuk melakukan, larangan, anjuran untuk tidak melakukan, atau dalam bentuk memberi kebebasan untuk berbuat atau tidak berbuat.
            Sedangkan yang dimaksud dengan hukum wadh’i adalah: ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur tentang sebab, syarat, mani’ (sesuatu yang menjadi penghalang kecakapan untuk melakukan hukum taklifi).
            Dengan mengemukakan batasan dari dua macam hukum tersebut dapat deketahui perbedaan antara keduanya. Ada dua perbedaan mendasar antara dua macam hukum tersebut:
a. Hukum taklifi adalah hukum yang mengandung perintah, larangan, atau memberi pilihan terhadap seorang mukalaf, sedangkan hukum wadh’i berupa penjelasan hubungan suatu peristiwa dengan hukum taklifi. Misalnya, hukum taklifi menjelaskan bahwa sholat wajib dilaksanakan umat islam, dan hukum wadh’i menjelaskan bahwa waktu matahari tergalincir di tengah hari menjadi sebab tanda bagi wajibnya seseorang menunaikan shalat zuhur.
b.Hukum taklifi dalam berbagai macamnya selalu berada dalam batas kemampuan seorang mukalaf. Sedangkan hukum wadh’i sebagiannya ada yang diluar kemampuan manusia dan bukan merupakan aktifitas manusia.[4]

       C.    Pembagian Macam-Macam Hukum
1.      Hukum Taklifi      
      Hukum taklifi menurut pengertian kebahasaan adalah hukum pemberian beban sedangkan menurut istilah adalah perintah Allah yang berbentuk pilihan dan tuntutan. Dinamakan hukum taklifi karena perintah ini langsung mengenai perbuatan seorang mukallaf (balig dan berakal sehat). Disebutkan tuntutan karena hukum taklifi menuntut seorang mukallaf untuk melakukan  dan meninggalkan suatu perbuatan secara pasti. misalnya firman Allah SWT dalam Al-Qur’an surah Al-Baqarah, 2:110. Artinya: ”Dan dirikanlah salat dan tunaikanlah zakat.”(Q.S. Al-Baqarah,2:110) Tuntutan Allah SWT untuk meninggalkan suatu perbuatan, misalnya firman Allah SWT dalam Al-Qur’an surat Al-Isra’, 17:33. Artinya: ”Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan dengan sesuatu alasan yang benar.”(Q.S. Al-Isra’,17:33) Tuntutan Allah SWT mengandung pilihan untuk melakukan suatu perbuatan atau meninggalkannya.[5]
Dengan demikian, taklifi dibagi menjadi lima macam, yaitu:
a.      Tuntutan untuk memperbuat secara pasti, yaitu suatu perkara yang apabila dikerjakan mendapat ganjaran dan apabila ditinggalkan akan mendapat ancaman Allah Swt, yang disebut dengan istilah “wajib”. Contohnya: mengerjakan shalat, puasa, dan sebagainya.
1.      Pembagian Wajib Ditinjau dari Waktu Pelaksanaannya
a.       Wajib Muthlak
      Yaitu kewajiban yang ditentukan waktu pelaksanaannya, dengan arti tidak salah bila  waktu pelaksanaannya ditunda sampai ia mampu melaksanakannya. Contohnya wajib membayar kafarah sumpah, tapi waktunya tidak ditentukan oleh syara’.
b.      Wajib Muaqqad
      Yaitu kewajiban yang waktu pelaksanaannya ditentukan dan tidak sah bila dilakukan diluar waktu tersebut. Contohnya puasa ramadhanWajib ini di bagi menjadi tiga bagian, yaitu:
v   Wajib muwassa’, yaitu kewajiban yang waktu untuk melakukan kewajiban itu melebihi waktu pelaksanaan kewajiban itu.  Contohnya waktu shalat lima waktu, shalat isya dari petang sampai subuh.
v  Wajib mudhayyaq, yaitu suatu kewajiban yang menyamai waktunya dengan kewajiban itu sendiri. Contohnya puasa ramadhan waktu mulainya dan berakhirnya sama yaitu dari terbit fajar sampai maghrib.
v  Wajib dzu syahnaini, yaitu kewajiban yang pelaksanaannya dalam waktu tertentu dan waktunya mengandung dua sifat di atas yaitu muwassa’ dan mudhayyaq. Yaitu waktu mulainya sama dengan waktu berakhirnya dan waktunya panjangnya contohnya ibadah haji.
2.      Pembagian Wajib dari Segi Pelaksana.
a.       Wajib ‘ain, suatu kewajiban yang harus dikerjakan oleh setiap orang mukallaf, sehingga jika ia meninggal, berdosalah ia dan berhak disiksa. Contoh, sholat, zakat, menepati akad (memenuhi janji), memberikan hak orang lain yang berhak, dan kewajiban-kewajiban lain yang apabila ditinggalkan berdosa.
b.      Wajib kifayah, suatu kewajiban yang hanya menuntut terwujudnya suatu pekerjaan dari sekelompok masyarakat. Sehingga jika pekerjaan tersebut telah dikerjakan oleh sebagian masyarakat, maka bebaslah yang lain dari kewajiban itu, tanpa menanggung dosa. Tapi jika tidak ada seorangpun yang mengerjakan tuntutan tersebut, maka berdosalah seluruh anggota masyarakat.
3.      Pembagian Wajib dari Segi Kadar yang Dituntut.
a.       Wajib Muhaddad, yaitu kewajiban yang ditentukan kadarnya. Contoh: zakat.
b.      Wajib Ghairu Muhaddad, yaitu kewajiban yang tidak ditentukan kadarnya. Contoh: memberikan nafkah kepada kerabat (family).
4.      Pembagian Wajib dari Segi Bentuk Perbuatan yang Dituntut.
a.       Wajib mu’ayyan,  yaitu wajib yang ditentukan zatnya, contoh: membaca Al Fatihah dalam shalat.
b.      Wajib mukhayyar, yaitu wajib yang diberi kebebasan memilih, contoh:  kafarah sumpah.[6]
b.      Tuntutan untuk memperbuat secara tidak pasti, dengan arti perbuatan itu dituntut untuk di kerjakan. Yaitu suatu perbuatan yang apabila dikerjakan oleh seorang mukallaf akan mendapat ganjaran di sisi Allah Swt dan apabila ditinggalkan tidak mendapat ancaman dari Nya, yang dikenal dengan istilah “Mandub (sunah)”. Contohnya: sedekah, berpuasa pada hari senin dan kamis, dll.
Mandub (sunah) dibagi menjadi:
1.      Dari Segi Selalu dan Tidak Selalunya Nabi Melakukan Sunah tersebut.
a.       Sunah muakkadah, yaitu perbuatan yang dilakukan oleh nabi disamping ada keterangan yang menunjukkan bahwa perbuatan itu bukanlah sesuatu hal yang fardhu. Seperti, shalat dua rakaat sebelum subuh, dua rakaat setelah zhuhur, dua rakaat setelah maghrib, dan dua rakaat setelah isya’.
b.      Sunah ghairu muakkadah, yaitu perbuatan yang pernah dilakukan oleh nabi, tetapi nabi tidak melazimkan dirinya dengan perbuatan tersebut atau sunah yang tidak dikerjakan oleh Rosulullah Saw secara kontinyu. Seperti, shalat empat rakaat sebelum zhuhur, empat rakaat sebelum ashar, empat rakaat sebelum isya’.
2.      Dari Segi Kemungkinan Meninggalkan Perbuatan.
a.       Sunah hadyu, yaitu perbuatan yang dituntut untuk melakukannya karena begitu besar faedah yang didapat darinya dan orang yang meninggalkannya dianggap sesat. Contohnya shalat hari raya.
b.      Sunah zaidah, yaitu sunah yang bila dilakukan oleh mukallaf dinyatakan baik dan bila ditinggalkan tidak mendapat dosa. Yaitu kesukaan Nabi yang bagus bila ditiru dan tidak dicela bila ditinggalkan.
c.       Sunah nafal, yaitu perbuatan yang dituntut sebagai tambahan bagi ibadah wajib.[7]
c.       Tuntutan untuk meninggalkan secara pasti, yaitu suatu pekerjaan yang apabila dikerjakan oleh seorang mukallaf maka ia akan mendapat ancaman dari Allah Swt dan apabila ditinggalkan maka ia akan mendapat pahala, yang dikenal dengan istilah “haram”. Contoh-contoh perbuatan yang diharamkan banyak sekali. Diantaranya makan bangkai, minum khamr (minuman keras), berzina dan lain-lain.
Haram dibagi menjadi dua macam, yaitu:
1.      Haram Li-dzatih, yaitu perbuatan yang diharamkan oleh Allah SWT, karena bahaya tersebut terdapat dalam perbuatan itu sendiri. Seperti makan bangkai, minum khamr, berzina, mencuri yang bahayanya berhubungan langsung dengan lima hal yang harus dijaga, yakni: badan, keturunan, harta benda, akal, dan agama. Perbuatan yang diharamkan Li-dzatih adalah bersentuhan langsung dengan salah satu dari lima hal ini.
2.      Haram Li Ghairih/’aridhi, yaitu perbuatan yang dilarang oleh syara’ , dimana adanya larangan tersebut bukan terletak pada perbuatan itu sendiri, tetapi perbuatan tersebut menimbulkan haram Li-dzatih. Seperti melihat aurat perempuan, dapat menimbulkan perbuatan zina, sedang zina diharamkan karena dzatiyahnya sendiri.
d.      Tuntutan untuk meninggalkan atau larangan secara tidak pasti, yaitu suatu pekerjaan yang apabila dikerjakan tidak berdosa dan bila ditinggalkan akan mendapat pahala, yang dikenal dengan istilah “karahah (makruh)”. Contohnya: merokok, dll.
Makruh dibagi menjadi dua, yaitu:
1.      Makruh Tahrim, yaitu larangan yang pasti, yang didasarkan pada dalil zhanni (yang masih mengandung keraguan dalam haram). Seperti memakai sutera, cincin dari emas dan perak bagi kaum lelaki. Makruh tahrim ini, merupakan lawan (kebalikan) dari hukum wajib.
2.      Makruh Tanzih, definisinya sama dengan definisi yang dirumuskan oleh Jumhur Fuqaha’. Makruh tanzih ini merupakan lawan (kebalikan) daru hukum mandub.
e.       Sesuatu yang memberikan kemungkinan untuk memilih antara mengerjakan atau meninggalkan. Jadi, disini tidak terdapat tuntutan untuk mengerjakan atau meninggalkan. Hal ini tidak diperintahkan dan `tidak pula dilarang. Hukum dalam bentuk ini disebut “ibahah” sedangkan perbuatan yang diberi pilihan untuk berbuat atau tidak itu disebut “mubah”. Contohnya: melakukan perburuan setelah melakukan tahallul dalam ibadah haji, dll.
Catatan untuk perkara yang mubah :
1.  Jangan berlebihan.
2.  Jangan membuat perkara baru (bid’ah) dalam agama yang tanpa ada             contoh atau tanpa ada maslahatnya dalam urusan dunia atau tidak menjadi sarana kemaslahatan yang lain.
3.  Jangan sibuk dengan perkara yang mubah sehingga melalaikan dari akhirat.
Hukum mubah ditetapkan karena ada salah satu dari tiga hal, yaitu:
a.       Tiada berdosa bagi yang mengerjakan perbuatan yang mulanya diharamkan, dengan ada qorinah (tanda-tanda) atas diperbolehkannya perbuatan tersebut. Sesuai dengan Firman Allah SWT dalam Surat Al-Baqarah: 173.
b.      Tiada nash (dalil) yang menunjukan haramnya perbuatan tersebut. Contohnya mendengarkan dan mempergunakan radio.
c.       Ada nash (dalil) yang menunjukan atas halalnya perbuatan tersebut seperti makan makanan yang halal, berdasarkan Firman Allah SWT pada Surat Al-Maidah: 5
2.      Hukum Wadh’i
Hukum wad’i adalah hukum yang menjadikan sesuatu sebagai sebab bagi adanya sesuatu yang lain atau sebagai syarat bagi sesuatu yang lain. Bisa juga diartikan hukum wadh’i adalah hukum yang menjelaskan hukum taklifi atau yang menjadi akibat dari pelaksanaan hukum taklifi.
      Hukum wadh’i terbagi kedalam beberapa macam, yaitu:
a.       Sebab
Menurut istilah syara’ sebab adalah suatu keadaan atau peristiwa yang dijadikan sebagai sebab adanya hukum, dan tidak adanya keadaan atau peristiwa itu menyebabkan tidak adanya hukum. Atau sesuatu yang pasti yang menjadi asas terbentuknya sesuatu hukum. Sekiranya ia wujud, maka wujudlah hukum dan sekiranya ia tidak wujud, maka tidak wujudlah hukum berkenaan.  Sebagai contoh, melihat anak bulan Ramadan menyebabkan wajibnya berpuasa. Ia berdasarkan firman Allah SWT: Oleh itu, sesiapa dari antara kamu yang menyaksikan anak bulan Ramadan (atau mengetahuinya), maka hendaklah dia berpuasa bulan itu…(al-Baqarah: 185). Demikian juga Allah SWT mengharuskan untuk mengqasarkan shalat sekiranya berada dalam keadaan musafir. Firman Allah SWT: Dan apabila kamu musafir di muka bumi, maka kamu tidaklah berdosa mengqasarkan (memendekkan) sembahyang…(an-Nisa': 101) Melalui dua contoh di atas, kita dapat memahami bahawa melihat anak bulan menjadi sebab wajibnya berpuasa, manakala musafir menjadi sebab keharusan shalat secara qasar.
Ulama ushul membagi sebab kepada dua macam :
1.        Sebab yang bukan merupakan perbuatan mukallaf dan berada diluar kemampuannya. Namun demikian, sebab itu mempunyai hubungan dengan hukum taklifi, karena syariat telah menjadikannya sebagai alas an bagi adanya suatu kewajiban yang harus dilaksanakan oleh seorang mukallaf, seperti tergelincirnya matahari menjadi sebab (alasan) bagi datangnya waktu shalat dhuhur, masuknya bulan ramadhan menjadi sebab bagi kewajiban melakukan puasa, dan keadaan terdesak menjadi sebab bagi bolehnya seseorang memakan sesuatu yang diharamkan.
2.        Sebab yang merupakan perbuatan mukallaf dan dalam batas kemampuannya, seperti perjalanan menjadi sebab bagi bolehnya berbuka puasa di siang hari di hari ramadhan, pembunuhan disengaja menjadi sebab bagi dikenakan hukum qishas atas pelakunya dan akat transaksi jual beli menjadi sebab bagi perpindahan milik dari pihak penjual pada pihak pembeli.[8]
b.      Syarat
            Hukum wad'i yang kedua adalah syarat. Syarat ialah sesuatu yang dijadikan syar’i (Hukum Islam), sebagai pelengkap terhadap perintah syar’i, tidak sah pelaksanaan suatu perintah syar’i, kecuali dengan adanya syarat tersebut. Atau sesuatu yang menyebabkan ketiadaan hukum ketika ketiadaannya. Namun, tidak semestinya wujud hukum ketika kewujudannya.
Syarat berada di luar hukum tetapi ia memainkan peranan yang sangat penting dalam mempengaruhi sesuatu hukum itu.
Misalnya: Sampainya nisab pada harta menjadi syarat bagi adanya kewajiban zakat, adanya perbuatan wudhu’ menjadi syarat adanya perbuatan shalat.


Para ulama ushul membagi Syarat menjadi dua, yaitu :
1.      Syarat syar’i, yaitu syarat yang datang langsung dari syariat itu sendiri. Misalnya, keadaan rusyd (kemampuan untuk mengatur pembelanjaan sehingga tidak menjadi mubadzir) bagi seorang anka yatim, dijadikan oleh syariat sebagai syarat bagi wajib menyerahkan harta miliknya kepadanya.
2.      Syarat ja’ly, yaitu syarat yang datang dari kemauan orang mukallaf itu sendiri. Misalnya, seorang suami datang kepada istrinya : “jika engkau memasuki rumah si fulan, maka jatuhlah talakmu satu”, dan seperti pernyataan seseorang bahwa ia baru bersedia menjamin untuk membayarkan hutang si fulan dengan syarat si fulan itu tidak mampu membayar hutangnya.[9]
c.       Mani’
            Mani’ secara etimologi, berarti “penghalang dari sesuatu”. Menurut istilah, Abdul Karim Zaidan, mendefinisikan mani’ sebagai berikut: “sesuatu yang di tetapkan syariat sebagai penghalang bagi adanya hokum atau penghalang bagi berfungsinya suatu sebab.           
            Mani’ adalah suatu keadaan atau peristiwa yang ditetapkan syar’i menjadi penghalang bagi adanya hukum atau membatalkan hukum. Selain itu, mani juga disebut tegahan atau halangan yang menyebabkan sesuatu hukum itu tidak dapat dilaksanakan. Ini bermakna, apabila syarat dan sebab terjadinya hukum taklifi sudah ada, ia masih lagi belum berlaku sekiranya ada mani'.
            Sebagai contoh, dalam hukum faraid, pertalian darah adalah menjadi sebab yang membolehkan pewarisan harta. Syaratnya juga telah wujud disebabkan salah seorang daripada keduanya telah meninggal dunia.
Mani’ dibagi menjadi 2 macam, yaitu:
1.      Mani’ terhadap hokum, seperti perbedaan agama dalam hal waris mewarisi adalah suatu mani’ atau penghalang.
2.      Mani’ terhadap sebab hokum, seperti seorang telah berkewajiban membayar zakat, akan tetapi dia mempunyai utang yang sampai mengurangi nisab zakat, maka dia tidak wjib membayar zakat.
d.      Akibat
            Termasuk juga kedalam pembahasan hukum wadh’i, hal hal yang menjadi akibat dari pelaksanaan hukum taklifi. dalam hubungannya dengan hukum wadh’I yaitu:
1.      Shah, yaitu akibat hukum dari suatu perbuatan taklifi yang sudah berlaku padanya sebab, sudah terpenuhi semua syarat syarat yang ditentukan, dan telah terhindar dari semua mani’.
Misalnya: shalat dzuhur yang dilakukan setelah tergelincirnya matahari, dan dilakukan oleh orang yang telah berwudhu’ serta orang yang tidak dalam keadaan haidh (berhadast).
2.      Bathal, yaitu akibat dari suatu perbuatan taklifi yang tidak memenuhi sebab atau syarat, atau terpenuhi kedua duanya,akan tetapi ada mani’ yang menghalanginya.
Misalnya: shalat maghrib sebelum tergelincirnya matahari, atau tidak berwudhu’, atau sudah keduanya, akan tetapi dilakukan oleh wanita berhaidh.[10]
e.       Azimah dan Rukhsah
            Azimah ialah peraturan Allah SWT yang asli dan tersurat pada nas (al-Qur’an dan Hadis) dan berlaku umum. Misalnya: kewajiban salat lima waktu dan puasa Ramadan. Haramnya memakan bangkai, darah, dan daging babi.
            Sedangkan Rukhsah ialah ketentuan yang di syariatkan oleh Allah sebagai peringan terhadap seorang mukallaf dalam hal-hal yang khusus, seperti bangkai sesuatu yang diharamkan, tetapi karena tidak ada lagi makanan yang di peroleh dan dia dalam keadaan yang sangat lapar, maka memakan bangkai diperbolehkan.
Rukhsah tersebut ada beberapa macam, antara lain:
1.      Membolehkan hal-hal yang diharamkan disebabkan darurat.
2.     Membolehkan meninggalkan sesuatu yang wajib seperti diperbolehkan untuk tidak berpuasa d bulan Ramadhan karena ada suatu udzur.


BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Secara etimologi kata hukum (al-hukm) berarti “mencegah” atau “memutuskan”. Menurut terminologi Ushul Fiqh, hukum (al-hukm) berarti”khitab (kalam) Allah yang mengatur amal perbuatan orang mukalaf, baik berupa iqtidla (perintah, larangan,anjuran untuk melakukan atau anjuran untuk meninggalkan), takhyir (kebolehan bagi orang mukallaf untuk memilih antara melkakukan dan tidak melakukan), atau wadl (ketentuan yang menetapkan sesuatu sebagai sebab,syarat,atau mani’ (penghalang).
Menurut istilah ahli fiqh, yang disebut hukum adalah khitab Allah dan sabda Rasul. Apabila disebut hukum syara’, maka yang dimaksud ialah hukum yang berpautan dengan manusia, yakni yang dibicarakan dalam ilmu fiqh, bukan hukum yang berpautan dengan akidah dan akhlaq.
Secara garis besar para Ulama ushul fiqh membagi hukum kepada dua macam, yaitu:
1.    Hukum Taklifi, menurut pengertian kebahasaan adalah hukum pemberian beban sedangkan menurut istilah adalah perintah Allah yang berbentuk pilihan dan tuntutan. Hukum Taklifi terbagi menjadi lima, yaitu: Wajib, Mandub, Haram, Makruh, dan Mubah.
2.    Hukum Wadh’I, adalah hukum yang menjadikan sesuatu sebagai sebab bagi adanya sesuatu yang lain atau sebagai syarat bagi sesuatu yang lain. Bisa juga diartikan hukum wadh’i adalah hukum yang menjelaskan hukum taklifi atau yang menjadi akibat dari pelaksanaan hukum taklifi. Hukum Wadh’I terbagi menjadi lima macam, yaitu: sebab, syarat, mani’, akibat, azimah dan rukhsah.




DAFTAR PUSTAKA

Syarifuddin Amir. 2009. Ushul Fiqih jilid 1. Jakarta : Kencana 2009.
Umar Muin, Tolehah Mansoer, Zahri Ahmad. 1986. Ushul Fiqih 1. Jakarta : Departemen Agama.
Wawan Djunaeni. 2008. Fikih. Jakarta : PT. Listakariska putra.
Ma’shum Zein. 2008. Zubdah ushul al-fiqh. Jombang-jatim : Darul hikmah.
Suratno, Anang Zamroni. 2012. Fikih. Jakarta : Kementrian Agama.
Abdul Wahab Khallaf. 2002. Ilmu Ushul Fiqih. Mojokerto : Pustaka Amani-jakarta.
Suwarjin. 2012. Ushul Fiqih. Yogjakarta : Teras.

Prof.Dr.H.Satria Efendi,M.zein,M.A, Ushul Fiqh, (Jakarta:Kencana 2009).hlm:36.
Drs.Muin Umar, Ushul Fiqh 1, (Jakarta:1985).hlm:20.
Prof.Dr.H.Satria Efendi,M.zein,M.A, Ushul Fiqh, (Jakarta:Kencana 2009).hlm:38-39.
Prof.Dr.H.Satria Efendi,M.zein,M.A, Ushul Fiqh, (Jakarta:Kencana 2009).hlm:40-41
Prof.Dr.H.Satria Efendi,M.zein,M.A, Ushul Fiqh, (Jakarta:Kencana 2009).hlm:43-46.
Prof.Dr.Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh Kaidah Hukum Islam, (Jakarta:Pustaka Amani 1977).hlm:146-151.
Prof.Dr.H.Satria Efendi,M.zein,M.A, Ushul Fiqh, (Jakarta:Kencana 2009).hlm:52-53
Prof.Dr.Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh Kaidah Hukum Islam, (Jakarta:Pustaka Amani 1977).hlm:156.
Prof.Dr.H.Satria Efendi,M.zein,M.A, Ushul Fiqh, (Jakarta:Kencana 2009).hlm:58




[1] Prof. Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqih. (Jakarta: PT Pustaka Firdaus, 1994). Hlm 26-27

[2] Prof. Dr. H.Satria Efendi,M.zein,M.A, Ushul Fiqh, (Jakarta:Kencana 2009). Hlm 36
                                                                                
[3] Drs.Muin Umar, Ushul Fiqh 1, (Jakarta: PT. Pustaka Seti, 1985). Hlm: 20

[4] Prof.Dr.H.Satria Efendi,M.zein,M.A, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana 2009). Hlm: 40-41

[5] Amir Syarifuddin,Ushul fiqh, (Jakarta: Fajar Interpratama). Hlm: 333
[6] Amir Syarifuddin,Ushul fiqh, (Jakarta:Fajar Interpratama). Hlm: 356

 [7] Amir Syarifuddin,Ushul fiqh ,(Jakarta: Fajar Interpratama). Hlm: 363
                [8] Dr. Hazbiyallah, M. Ag. Fiqh dan Ushul Fiqh (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2013).              Hlm: 38-39
                [9] Dr. Hazbiyallah, M. Ag. Fiqh dan Ushul Fiqh (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2013).               Hlm: 40              

                [10] Prof.Muhammad Abu Zahrah, (Jakarta: PT. Pustaka Firdaus , 1995), Hlm. 53

0 Response to "HUKUM SYAR’I LENGKAP FOOTNOTE"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel