HUKUM PERKAWINAN
HUKUM PERKAWINAN
Latar Belakang
Pengertian Perkawinan Perkawinan ialah suatu pertalian yang sah antara seorang laki-laki dan perempuan untuk waktu yang lama. Undang-undang memandang perkawinan hanya dari hubungan keperdataan, demikian pasal 26 Burgerlijk Wetboek. Suami istri harus setia satu sama lain, bantu-membantu,berdiam bersama-sama, saling memberikan nafkah dan bersama-sama mendidik anak-anak. Perceraian ialah penghapusan perkawinan dengan putusan hakim, atau tuntutan salah satu pihak dalam perkawinan itu.
Untuk melindungi istri terhadap kekuasaan si suami yang sangat luas itu atas kekayaan bersama serta kekayaan pribadi si isteri, undang-undang memberikan pada si isteri suatu hak untuk meminta pada hakim supaya diadakan pemisahan kekayaan dengan tetap berlangsungnya. Pemisahan kekayaan dapat diakhiri ataspersetujuan kedua belah pihak dengan meletakan persetujuan itu di dalam suatu akte notaris, yang harus diumumkan seperti yang ditentukan untuk pengumuman hakim dalam mengadakan pemisahan itu.
Menurut UU No. 1 tahun 1974 dalam pasal 1 mendefinisikan bahwa: Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Sebagai ikatan lahir, perkawinanmerupakan hubungan hukum antara seorang pria dengan seorang wanita untuk hidup bersama sebagai suami istri. ikatan lahir batin ini merupakan hubungan formil yang sifatnya nyata, baik bagi yang mengikatkan dirinya maupun bagi orang laian atau masyarakat.
Ikatan lahir ini terjadi dengan adanya upacara perkawinan yakni upacara akad nikah bagi yang Beragama islam. Sebagai ikatan bathin, perkawinan merupakan pertalian jiwa yang terjalin karena adanya kemauan yang sama dan ikhlas antara seorang pria dengan seorang wanita untuk hidup bersama sebagai suami istri. dalam tahap permulaan, iktan bathin ini diawali dan ditandai dengan adanya persetujuan dari calon mempelai untuk melangsungkan perkawinan. Selanjutnya, dalam hidup bersamam ikatan bathin ini tercermin dari adanya kerukunan suami istri yang bersangkutan. Terjalinnya ikatan lahir dan ikatan bathin merupakan dasar utama dalam membentuk dan membina keluarga yang bahagia dan kekal.
Dalam rumusan perkawinan menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 itu tercantum tujuan perkawinan yaitu untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal. Ini berarti bahwa perkawinan dilangsungkan bukan untuk sementara atau untuk jangka waktu tertentu yang direncanakan, akan tetapi untuk seumur hidup atau selama-lamanya, dan tidak boleh diputus begitu saja. Karena itu, tidak diperkenankan perkawinan yang hanya dilangsungkan untuk sementara waktu saja seperti kawin kontrak. Pemutusan perkawinan dengan perceraian hanya diperbolehkan dalam keadaan yang sangat terpaksa. Selanjutnya, dalam pengertian perkawinan itu juga dinyatak dengan tegas bahwa pembentukan keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal itu berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, ini berarti bahwa perkawinan harus didasarkan pada agama dan kepercayaan masing-masing.
Dalam Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, dinyatakan: “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945”. UU No.1 tahun 1974 dan hukum islam memandang bahwa perkawinan itu tidak hanya dilihat dari aspek formal semata-mata, tetapi juga dilihat dari aspek agama dan sosial.aspek agama menetapkan tentang keabsahan perkawinan, sedangkan aspek formal adalah menyangkut aspek administrative, yaitu pencatatan di KUA dan catatan sipil. Sajuti Thalib, SH dalam bukunya Hukum Keluarga Indonesia mengatakan: “Perkawinan adalah perjanjian suci membentuk keluarga antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan”. Dr. Anwar Haryono SH, dalam bukunya
Hukum Islam juga mengatakan: “pernikahan adalah suatu petjanjian suci antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan untuk membentuk keluarga bahagia”. Menurut hukum islam, perkawinan adalah suatu perjanjian antara mempelai laki-laki di satu pihak dan wali dari mempelai perempuan di lain pihak, perjanjian terjadi dengan suatu ijab (akad nikah), yang dilakukan oleh wali calon istri dan diikuti oleh dari calon suami, dan disertai sekurang-kurangnya dua orang saksi
Tujuan Tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Untuk itu suami istri saling membantu dan melengkapi, agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai kesejahteraan spiritual dan materiil. Dilihat dari tujuan perkawinan, maka perkawinan itu :
a. Berlangsung seumur hidup
b. Cerai diperlukan syarat-syarat yang ketat dan merupakan jalan terakhir.
c. Suami-istri membantu untuk mengembangkan diri Suatu keluarga dikatakan bahagia apabila terpenuhi kebutuhan pokok, yaitu kebutuhan jasmaniah dan rohaniah. Yang termasuk kebutuhan jasmaniah seperti papan, sandang, pangan, kesehatan, dan pendidikan. Sedangkan kebutuhan rohaniah contohnya adanya seorang anak yang berasal dari darah daging mereka.
Asas-Asas Perkawinan
1. Asas-asas perkawinan menurut KUH Perdata a. Asas monogami. Asas ini bersifat absolut/mutlak, tidak dapat dilanggar. b. Perkawinan adalah perkawinan perdata sehingga harus dilakukan di depan pegawai catatan sipil. c. Perkawinan merupakan persetujuan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan di bidang hukum keluarga. d. Supaya perkawinan sah maka harus memenuhi syarat-syarat yang ditentukan undang-undang. e. Perkawinan mempunyai akibat terhadap hak dan kewajiban suami dan isteri. f. Perkawinan menyebabkan pertalian darah. g. Perkawinan mempunyai akibat di bidang kekayaan suami dan isteri itu. 2. Asas-asas perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 a. Asas Kesepakatan (Bab II Pasal 6 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974), yaitu harus ada kata sepakat antara calon suami dan isteri. b. Asas monogami (Pasal 3 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974). Pada asasnya, seorang pria hanya boleh memiliki satu isteri dan seorang wanita hanya boleh memiliki satu suami, namun ada perkecualian (Pasal 3 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974), dengan syarat-syarat yang diatur dalam Pasal 4-5. c. Perkawinan bukan semata ikatan lahiriah melainkan juga batiniah. d. Supaya sah perkawinan harus memenuhi syarat yang ditentukan undang-undang (Pasal 2 UU No. 1 Tahun 1974). e. Perkawinan mempunyai akibat terhadap pribadi suami dan isteri. f. Perkawinan mempunyai akibat terhadap anak/keturunan dari perkawinan tersebut. g. Perkawinan mempunyai akibat terhadap harta suami dan isteri tersebut. 4. Syarat Perkawinan Perkawinan ialah suatu pertalian yang sah antara seorang laki-laki dan perempuan untuk waktu yang lama. Undang-undang memandang perkawinan hanya dari hubungan keperdataan, demikian pasal 26 Burgerlijk Wetboek. Suatu perkawinan yang sah hanyalah perkawinan yang memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) dan syarat-syarat serta peraturan agama dikesampaingkan. Larangan ini termasuk ketertiban umum, artinya apabila dilanggar selalu diancam dengan pembatalan perkawinan yang ilangsungkan itu. Syarat-syarat untuk dapat sahnya perkawinan, yaitu : a. Kedua pihak harus telah mencapai umur yang ditetapkan dalam undang-undang, yaitu untuk seorang lelaki 18 tahun dan perempuan 15 tahun; b. Harus ada persetujuan yang bebas dari kedua belah pihak; c. Untuk seorang perempuan yang sudah pernah kawin harus lewat 300 hari dahulu sesudahnya putusan perkawinan pertamanya; d. Tidak adanya larangan alam undang-undang bagi kedua belah pihak; e. Untuk pihak yang masih dibawah umur , harus ada izin dari ornag tua atau wali. Tentang hal larangan untuk kawin dapat diterangkan, bahwa seorang tidak diperbolehkan kawin dengan saudaranya, meskipun saudara tiri, seorang tidak diperbolehkan kawin dengan iparnya, seorang paman dilarang kawin dengan keponakannya dan sebagainya. Tentang hal izin dapat dapat diterangkan bahwa kedua orang tua harus memberikan izin, atau ada kata sepakat antara ayah dan ibu masing-masing pihak. Jikalau ada wali, wali inipun harus memberikan izin, dan kalau wali ini sendiri hendak hendak kawin dengan anak yang dibawah pengawasannya, harus ada izin dari wali pengawas (toeziende voogd). Kalau kedua orang tua sudah meninggal, yang membrikan izin ialah kakek-nenek., baik dari pihak ayah maupun ibu, sedangkan izin wali pun masih tetap diperlukan. Untuk anak-anak yang diluar perkawinan, tetapi diakui oleh kedua orang tuanya, berlaku pokok aturan yang sama dengan pemberian izin, kecuali jika tidak terdapat kata sepakat antara kedua orang tua, hakim dapat iminta campur tangan, dan kakek-nenek tidak menggantikan orang tua dalam hal memberikan izin. Untuk anak yang susah dewasa, tetapi belum berumur 30 tahun masih juga diperlukan izin orang tuanya. Tetapi kalau mereka ini tidak mau memberikan izinnya, anak dapat memintanya dengan perantara hakim. Dalam waktu tiga minggu, hakim akan memanggil orang tua dan anak untuk didengar dalam sidang tertutup. Jikalau orang tua tidak menghadap, perkawinan baru dapat dilangsungkan setelah lewat tiga bulan. Sebelum perkawinan dilangsungkan, harus dilakukan terlebih dahulu : a. Pemberitahuan (aangifte) tentang kehendak akan kawin kepada Pegawai Pencatatan Sipil (Ambtenaar Burgerlijk Stand), yaitu pegawai yang nantinya akan melangsungkan pernikahan; b. Pengumuman (afkondiging) oleh pegawai tersebut, tentang akan dilangsungkan pernikahan itu. Kepada beberapa orang oleh undang-undang diberikan hak untuk mencegah atau menahan (stuiten) dilangsukannya pernikahan, yaitu: a. Kepada suami atau istri serta anak-anak dari sesuatu pihak yang kan hendak kawin; b. Kepada orang tua kedua belah pihak; c. Oleh jaksa (Officier van Justitie) Seorang suami dapat menghalang-halangi perkawinan yang kedua dari istrinya dan sebaliknya, sedangkan anak pun dapat mencegah perkawinan yang kedua dari ayah dan ibunya. Orang tua dapat mencegah pernikahan, jikalau anak-anaknya belum mendapatkan izin dari mereka. Juga diperkenankan bahwa setelah memberikan izin barulah mereka mengetahui yang calon menantunya telah ditaruh di bawah curatele. Kepada Jaksa diberikan hak untuk mencegah dilangsungkannya perkawinan yang sekiranya akan melanggar larangan-larangan yang bersifat menjaga ketertiban umum. Caranya mencegah perkawinan itu ialah dengan memasukkan perlawanan kepada Hakim. Pegawai Pencatatan Sipil lalu tidak boleh melangsungkan pernikahan sebelum ia menerima putusan Hakim. Surat-surat yang harus diserahkan kepada Pegawai Pencatatan Sipil agar ia dapat melangsungkan pernikahan, yaitu : 1. Surat kelahiran masinh-masing; 2. Surat pernyataan dari Pegawai Pencatatan Sipil tentang adanya izin orang tua, izin mana juga dapat diberikan dalam surat perkawinan sendiri yang akan dibuat itu; 3. Proses verbal dari mana ternyata perantaraan hakim dalam hal perantaraan ini dibituhkan; 4. Surat kematian suami atau istri atau putusan perceraian perkawinan lama; 5. Surat keterangan dari Pegawai Pencatatan Sipil yang menyatakan telah dilangsungkan pengumuman dengan tiada perlawanan dari sesuatu pihak; 6. Dispensasi dari Presiden (Menteri Kehakiman), dalam hal ada suatu larangan unyuk kawin. Pegawai Pencatatan Sipil berhak menolnak untuk melangsungkan pernikahan apabila ia menganggap surat-surat kurang cukup dalam hal yang demikian pihak-pihak yang berkepentingan dapat memajukan permohonan kepada hakim untuk menyatakan bahwa surat-surat itu telah mencukupi. Pada asasnya seorang yang hendak kawin diharuskan menghadap sendiri dimuka pegawai Burgerlijk Stand itu dengan membawa dua orang saksi hanya dalam keadaan yang luar biasa dapat diberikan izin oleh Menteri Kehakiman untuk mewakilkan orang lain menghadap yang harus dikuasakan authentiek. Suatu perkawinan yang dilangsungkan diluar negeri sah apabila dilangsungkan menurut cara-cara yang berlaku di negeri asing bersangkutan asal saja tidak dilanggar larangan-larangan yang bersifat menjaga ketertban umum dinegeri kita sendiri dalam satu tahun setelah mereka di Indonesia perkawinan harus didaftarkan dalam daftar Burgerlijk Stand ditempat kediamannya. Ada kemungkinan, misalnya karena kekhilafan suatu pernikahan telah dilangsungkan pada hal ada syarat-syarat yang tidak dipenuhi atau ada larngan-larngan yang telah terlanggar misalnya salah satu pihak masih terikat oleh suatu perkawinan lama atau perkawinan telah dilangsungkan oleh Pegawai Pencatatan Sipil yang tidak berkuasa atau lain sebagainya perkawinan semacam itu dapat dibatalkan oleh hakim atas tuntunan orang-orang yang berkepentingan atau atas tuntunan Jaksa tetapi selama pembatalan ini belum dilakukan perkawinan tersebut berlaku sebagai suatu perkawinan yang sah. Meskipun suatu pembatalan itu pada dasarnya bertujuan mengembalikan keadaan seperti pada waktu perbuatan yang dibatalkan itu belum terjadi, tetapi dalam suatu hal perkawinan dibatalkan, tidak boleh kita beranggapan seolah-olah tidak pernah terjadi suatu perkawinan, karena terlalu banyak kepentingan dari berbagai pihak harus dilindungi. Dari itu, dalam hal suatu perkawinan dibatalkan, undang-undang telah meneteapkan sebagai berikut : 1. Jika sudah dilahirkan anak-anak dari perkawinan tersebut, anak-anak ini tetap mempunyai kedudukan sebagai anak yang sah; 2. Pihak yang berlaku jujur tetap memperoleh dari perkawinan itu hak-hak yang semesti didapatnya sebagai suami atau istri dalam perkawinan yang dibatalkan itu; 3. Juga orang-orang pihak ketiga yang berlaku jujur tidak boleh dirugikan karena pembatalan perkawinan itu. Pada asasnya suatu perkawinan harus dibuktikan dengan surat perkawinan. Hanya, apabila daftar-daftar Pencatatan Sipil telah hilang, diserahkan kepada Hakim untuk menerima pembuktian secara lain, asal saja menurut keadaan yang nampak keluar dua orang laki perempuan dapat dipandang sebagai suami istri. 5. Batalnya Perkawinan Batalnya perkawinan yaitu “rusak atau tidak sahnya perkawinan karena tidak memenuhi salah satu syarat atau salah satu rukunnya, atau sebab lain yang dilarang atau diharamkan oleh agama”. Batalnya perkawinan atau putusnya perkawinan disebut juga dengan fasakh.[1] Kata fasakh (batalnya pernikahan) berarti merusakkan atau membatalkan. Jadi, fasakh sebagai salah satu sebab putusnya perkawinan ialah merusakkan atau membatalkan hubungan perkawinan yang telah berlangsung. Fasakh bisa terjadi karena tidak terpenuhinya syarat-syarat ketika berlangsung akad nikah, atau karena hal-hal yang datang kemudian dan membatalkan kelangsungan perkawinan. 1. Fasakh karena syarat-syarat yang tidak terpenuhi ketika akad nikah. a. Setelah akad nikah ternyata diketahui bahwa istrinya adalah saudara kandung atau saudara sesusuan pihak suami. b. Suami isti masih kecil, kemudian setelah dewasa ia berhak meneruskan ikatan pernikahannya atau mengakhirinya. Cara seperti ini disebut khiyar baligh, jika yang dipilih mengakhiri ikatan suami istri, maka hal ini disebut fasakh baligh. 2. Fasakh karena hal-hal yang datang setelah akad a. Jika seorang suami murtad atau keluar dari agama Islam dan tidak mau kembali sama sekali, maka akadnya batal (fasakh) karena kemurtadan yang terjadi belakangan. b. Jika suami yang tadinya kafir masuk Islam, tetapi istri masih tetap dalam kekafirannya, yaitu tetap menjadi musyrik, maka akadnya batal (fasakh). Lain halnya kalau istrinya ahli kitab. Maka akadnya tetap sah sepertisemula. Sebab perkawinannya dengan ahli kitab dari semula dipandang sah. Golongan Hanafiyah membuat rumusan umum guna membedakan pengertian pisahnya suami istri sabab talak dan sebab fasakh. Kata mereka: “Pisahnya suami istri karena suami dan sama sekali tidak ada pengaruh istri disebut talak, dan setiap perpisahan suami istri karena istri, bukan karena suami atau karena suami, tapi dengan pengaruh dari istri disebut fasakh.” Selain hal-hal tersebut ada juga hal-hal lain yang menyebabkan terjadinya fasakh, yaitu sebagai berikut: 1. Karena ada balak (penyakit belang kulit). Dalam kaitan ini, Rasulullah bersabda: عَنْ كَعْبِ بْنِ زَيْدٍ رَضِي الله عنه أَنَّ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم تَزَوَّجَ اِمْرَ أَةً مِنْ بَنِيْ غِفَارٍ، فَلَمَّا دَخَلَ عَلَيْهَا فَوَضَعَ ثَوْبَهُ وَقَعَدَ عَلَى الْفِرَاشِ أَبْصَرَ بِكَشْحِهَا بَيَا ضًا فَا نْحَا زَ عَنِ الْفِرَاشِ ثُمَّ قَالَ : خُذِى عَلَيْكَ ثِيَابَكَ وَلَمْ يَأْ خُذْ مِمَّا أَتَا هَا شَيْئًا (رواه أحمد و البيهقى “Dari Ka’ab Bin Zaid radhiallahu ‘anh bahwasanya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam pernah menikahi seorang perempuan bani Ghifar. Maka, tatkala beliau masuk menemuinya dan perempuan itu telah meletakkan kainnya dan ia duduk di atas tempat tidur terlihatlah putih (balak) di lambungnya, lalu beliau berpaling seraya berkata: ambillah kainmu, tutuplah badanmu, dan beliau tidak menyuruh mengambil kembali barang yang telah diberikan kepada perempuan itu.” (HR. Ahmad dan Baihaqi) 2. Karena gila 3. Karena penyakit kusta. 4. Karena ada penyakit menular, seperti sipilis, TBC, AIDS dan sebagainya. Dijelaskan dalam suatu riwayat. عَنْ سَعِيْدِ ابْنِ الْمُسَيَّبِ رضي الله عنه قَالَ : اَيُّمَا رَجُلٍ تَزَوَّجَ بِا مْرَأَةٍ وَهُوَ جُنُوْنٌ أَوْ ضَرَرٌ فَإِنَّهَا تَخَيَّرُ فَإِ نْ شَاءَتْ قَرَّتْ وَإِنْ شَاءَتْ فَارَقَتْ ( رواه الما لك ) “Dari Sa’id bin Musayyab radhiallahu ‘anh ia berkata: Barangsiapa di antara laki-laki yang menikah dengan seorang perempuan, dan pada laki-laki itu terdapat tanda-tanda gila, atau tanda-tanda yang membahayakan, sesungguhnya perempuan itu boleh memilih jika mau ia tetap dalam perkawinannya dan jika berkehendak cerai maka perempuan itu boleh bercerai.” (HR. Malik) 5. Karena ada daging tumbuh pada kemaluan perempuan yang menghambat maksud perkawinan (bersetubuh). 6. Karena ‘unnah, yaitu zakar laki-laki impoten sehingga tidak mencapai apa yang dimaksudkan dengan nikah. Dalam suatu riwayat dari Sa’id bin Musayyab radhiallahu ‘anh ia berkata. “Umar bin Khathab telah memutuskan bahwasanya laki-laki yang ‘unnah diberi tenggat satu tahun sebelum dijatuhkan fasakh.” Seperti itu juga pendapat Ibnu Mas’ud. Diriwayatkan dari ‘Utsman bahwa laki-laki yang ‘unnah tidak diberi tenggat, dari al-Harits bin ‘Abdillah bahwa laki-laki yang ‘unnah diberi tenggat sepuluh bulan. Imam Ahmad, al-Hadi dan ulama’ lain menyatakan bahwa pada keadaan seperti itu tidak terjadi fasakh. Disamping itu, fasakh juga bisa terjadi oleh sebab-sebab sebagai berikut : a. Perkawinan yang dilakukan oleh wali dengan laki-laki yang bukan jodohnya. b. Suami tidak mau memulangkan istrinya, dan tidak pula memberikan belanja sedangkan istrinya itu tidak rela. c. Suami miskin, setelah jelas kemiskinannya oleh beberapa orang saksi yang dapat di percaya, sehingga ia tidak sanggup lagi memberi nafkah, baik pakaian yang sederhana, tempat, ataupun maskawinnya belum dibayarkannya sebelum campur. Apabila terdapat hal-hal atau kondisi penyebab fasakh itu jelas, dan dibenarkan syara’, maka untuk menetapkan fasakh tidak diperlukan putusan pengadilan. Misalnya terbukti bahwa suami istri masih saudara kandung, atau saudara sesusuan. Akan tetapi jika terdapat hal-hal seperti berikut, maka pelaksanaannya adalah: 1. Jika suami tidak memberi nafkah bukan karena kemiskinannya, sedangkan hakim telah pula memaksa dia untuk itu, maka dalam hal ini hendaklah diadukan terlebih dahulu kepada pihak yang berwenang, seperti qadi nikah di Pengadilan Agama, supaya yang berwenang dapat menyelesaikannya sebagaimana mestinya. 2. Setelah hakim memberi janji kepada suami sekurang-kurangnya tiga hari, mulai dari hari istri itu mengadu. Jika masa perjanjian itu telah habis, sedangkan si suami tidak juga dapat menyelesaikannya, barulah hakim memfasakhkan nikahnya. Atau dia sendiri yang memfasakhkan di muka hakim setelah diizinkan olehnya. Mengenai sebab-sebab batalnya perkawinan dan permohonan pembatalan perkawinan di Indonesia, dijelaskan dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 70-76 6. Putusnya Perkawinan Perceraian dalam istilah ahli Figh disebut “talak” atau “furqah”. Talak berarti membuka ikatan membatalkan perjanjian, sedangkan “furqah” berarti bercerai (lawan dari berkumpul). Lalu kedua kata itu dipakai oleh para ahli Figh sebagai satu istilah, yang berarti perceraian antara suami-isteri. Perkataan talak dalam istilah ahli Figh mempunyai dua arti, yakni arti yang umum dan arti yang khusus. Talak dalam arti umum berarti segala macam bentuk perceraian baik yang dijatuhkan oleh suami, yang ditetapkan oleh hakim, maupun perceraian yang jatuh dengan sendirinya atau perceraian karena meninggalnya salah seorang dari suami atau isteri. Talak dalam arti khusus berarti perceraian yang dijatuhkan oleh pihak suami. Karena salah satu bentuk dari perceraian antara suami-isteri itu ada yang disebabkan karena talak maka untuk selanjutnya istilah talak yang dimaksud di sini ialah talak dalam arti yang khusus. Meskipun Islam menyukai terjadinya perceraian dari suatu perkawinan. Dan perceraian pun tidak boleh dilaksanakan setiap saat yang dikehendaki. Perceraian walaupun diperbolehkan tetapi agama Islam tetap memandang bahwa perceraian adalah sesuatu yang bertentangan dengan asas – asas Hukum Islam. Sebab-sebab Putusnya Hubungan Perkawinan Yang menjadi sebab putusnya perkawinan ialah: 1. Talak Hukum Islam menentukan bahwa hak talak adalah pada suami dengan alasan bahwa seorang laki-laki itu pada umumnya lebih mengutamakan pemikiran dalam mempertimbangkan sesuatu daripada wanita yang biasanya bertindak atas dasar emosi. Dengan pertimbangan yang demikian tadi diharapkan kejadian perceraian akan lebih kecil, kemungkinannya daripada apabila hak talak diberikan kepada isteri. Di samping alasan ini, ada alas an lain yang memberikan wewenang/hak talak pada suami, antara lain: a. Akad nikah dipegang oleh suami. Suamilah yang menerima ijab dari pihak isteri waktu dilaksanakan akad nikah. b. Suami wajib membayar mahar kepada isterinya waktu akad nikah dan dianjurkan membayar uang mu’tah (pemberian sukarela dari suami kepada isterinya) setelah suami mentalak isterinya. c. Suami wajib memberi nafkah isterinya pada masa iddah apabila ia mentalaknya. d. Perintah-perintah mentalak dalam Al-Quran dan Hadist banyak ditujukan pada suami. 2. Khulu’ Talak khuluk atau talak tebus ialah bentuk perceraian atas persetujuan suami-isteri dengan jatuhnya talak satu dari suami kepada isteri dengan tebusan harta atau uang dari pihak isteri dengan tebusan harta atau uang dari pihak isteri yang menginginkan cerai dengan khuluk itu. Adanya kemungkinan bercerai dengan jalan khuluk ini ialah untuk mengimbangi hak talak yang ada pada suami. Dengan khuluk ini si isteri dapat mengambil inisiatif untuk memutuskan hubungan perkawinan dengan cara penebusan. Penebusan atau pengganti yang diberikan isteri pada suaminya disebut juga dengan kata “iwald”. Syarat sahnya khuluk ialah: a. Perceraian dengan khuluk itu harus dilaksanakan dengan kerelaan dan persetujuan suami-isteri. b. Besar kecilnya uang tebusan harus ditentukan dengan persetujuan bersama antara suami-isteri. 3. Syiqaq Syiqaq itu berarti perselisihan atau menurut istilah Fiqh berarti perselisihan suami-isteri yang diselesaikan dua orang hakam, satu orang dari pihak suami dan yang satu orang dari pihak isteri. Menurut Syekh Abdul ‘Aziz Al Khuli tugas dan syarat-syarat orang yang boleh diangkat menjadi hakam adalah sebagai berikut: a. Berlaku adil di antara pihak yang berpekara. b. Dengan ikhlas berusaha untuk mendamaikan suami-isteri itu. c. Kedua hakam itu disegani oleh kedua pihak suami-isteri. d. Hendaklah berpihak kepada yang teraniaya/dirugikan apabila pihak yang lain tidak mau berdamai. 4. Fasakh Arti fasakh ialah merusakkan atau membatalkan. Ini berarti bahwa perkawinan itu diputuskan/dirusakkan atas permintaan salah satu pihak oleh hakim Pengadilan Agama. Biasanya yang menuntut fasakh di pengadilan adalah isteri. Adapun alasan-alasan yang diperbolehkan seorang isteri menuntut fasakh di pengadilan: a. Suami sakit gila. b. Suami menderita penyakit menular yang tidak dapat diharapkan dapat sembuh. c. Suami tidak mampu atau kehilangan kemampuan untuk melakukan hubungan kelamin. d. Suami jatuh miskin hingga tidak mampu memberi nafkah pada isterinya. e. Isteri merasa tertipu baik dalam nasab, kekayaan atau kedudukan suami. f. Suami pergi tanpa diketahui tempat-tinggalnya dan tanpa berita, sehingga tidak diketahui hidup atau mati dan waktunya sudah cukup lama. 5. Ta’lik talak Arti daripada ta’lik ialah menggantungkan, jadi pengertian ta’lik talak ialah suatu talak yang digantungkan pada suatu hal yang mungkin terjadi yang telah disebutkan dalam suatu perjanjian yang telah diperjanjikan lebih dahulu. Di Indonesia pembacaan ta’lik talak dilakukan oleh suami setelah akad nikah. Adapun sighat ta’lik talak yang tercantum dalam buku nikah dari Departemen Agama adalah sebagai berikut: Sewaktu-waktu saya: a. Meninggalkan isteri saya tersebut enam bulan berturut-turut; b. Atau saya tidak memberi nafkah wajib kepadanya tiga bulan lamanya; c. Atau saya menyakiti badan/jasmani isteri saya itu; d. Atau saya membiarkan/tidak memperdulikan isteri saya itu enam bulan lamanya. 6. Ila’ Arti daripada ila’ ialah bersumpah untuk tidak melakukan suatu pekerjaan. Dalam kalangan bangsa Arab jahiliyah perkataan ila’ mempunyai arti khusus dalam hukum perkawinan mereka, yakni suami bersumpah untuk tidak mencampuri isterinya, waktunya tidak ditentukan dan selama itu isteri tidak ditalak ataupun diceraikan. Sehingga kalau keadaan ini berlangsung berlarut-larut, yang menderita adalah pihak isteri karena keadaannya tekatung-katung dan tidak berketentuan. Berdasarkan Al-Quran, surat Al-Baqarah ayat 226-227, dapat diperoleh ketentuan bahwa: a. Suami yang mengila’ isterinya batasnya paling lama hanya empat bulan. b. Kalau batas waktu itu habis maka suami harus kembali hidup sebagai suami-isteri atau mentalaknya. 7. Zhihar Zhihar adalah prosedur talak, yang hampir sama dengan ila’. Arti zhihar ialah seorang suami yang bersumpah bahwa isterinya itu baginya sama dengan punggung ibunya. Dengan bersumpah demikian itu berarti suami telah menceraikan isterinya. Masa tenggang serta akibat zhihar sama dengan ila’. Ketentuan mengenai zhihar ini diatur dalam Al-Quran surat Al-Mujadilah ayat 2-4, yang isinya: a. Zhihar ialah ungkapan yang berlaku khusus bagi orang Arab yang artinya suatu keadaan di mana seorang suami bersumpah bahwa bagi isterinya itu sama denagn punggung ibunya, sumpah ini berarti dia tidak akan mencampuri isterinya lagi. b. Sumpah seperti ini termasuk hal yang mungkar, yang tidak disenangi oleh Allah dan sekaligus merupakan perkataan dusta dan paksa. c. Akibat dari sumpah itu ialah terputusnya ikatan perkawinan antara suami-isteri. Kalau hendak menyambung kembali hubungan keduanya, maka wajiblah suami membayar kafarahnya lebih dulu. d. Bentuk kafarahnya adalah melakukan salah satu perbuatan di bawah ini dengan berurut menurut urutannya menurut kesanggupan suami yang bersangkutan, yakni: • Memerdekakan seorang budak, atau • Puasa dua bulan berturut-turut, atau • Memberi makan 60 orang miskin. 8. Li’aan Arti li’an ialah laknat yaitu sumpah yang di dalamnya terdapat pernyataan bersedia menerima laknat Tuhan apabila yang mengucapkan sumpah itu berdusta. Akibatnya ialah putusnya perkawinan antara suami-isteri untuk selama-lamanya. Proses pelaksanaan perceraian karena li’an diatur dalam Al-Quran syrat An-Nur ayat 6-9, sebagai berikut: a. Suami yang menuduh isterinya berzina harus mengajukan saksi yang cukup yang turut menyaksikan perbuatan penyelewengan tersebut. b. Kalau suami tidak dapat mengajukan saksi, supaya ia tidak terkena hukuman menuduh zina, ia harus mengucapkan sumpah lima kali. Empat kali dari sumpah itu ia menyatakan bahwa tuduhannya benar, dan sumpah kelima menyatakan bahwa ia sanggup menerima laknat Tuhan apabial tuduhannya tidak benar (dusta). c. Untuk membebaskan diri dari tuduhan si isteri juga harus bersumpah lima kali. Empat kali ia menyatakan tidak bersalah dan yang kelima ia menyatakan sanggup menerima laknat Tuhan apabila ia bersalah dan tuduhan suaminya benar. d. Akibat dari sumpah ini isteri telah terbebas dari tuduhan dn ancaman hukuman, namun hubungan perkawinan menjadi putus untuk selama-lamanya 9. Kematian Putusnya perkawinan dapat pula disebabkan karena kematian suami atau isteri. Dengan kematian salah satu pihak, maka pihak lain berhak waris atas harta peninggalan yang meninggal. Walaupun dengan kematian suami tidak dimungkinkan hubungan mereka disambung lagi, namun bagi isteri yang kematian suami tidak boleh segera melaksanakan perkawinan baru dengan laki-laki lain. Si isteri harus menunggu masa iddahnya habis yang lamanya empat bulan sepuluh hari
0 Response to "HUKUM PERKAWINAN"
Post a Comment