Makalah Keteladanan Sifat Ibnu Rusdy
Keteladanan Sifat Ibnu Rusdy
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Pendahuluan
Di
Andalusia, tepatnya di kota Cordova lahir seorang filosof Muslim terkenal
bernama Ibnu Rusyd. Ketika itu Andalusia (Spanyol) merupakan salah satu pusat
peradaban Islam yang maju dan cemerlang serta banyak menghasilkan ilmuan-ilmuan
muslim besar seperti Ibnu Bajjah dan Ibnu Thufail. Di sisi lain, Eropa (baca:
masyarakat kristen Eropa) masih berada dalam zaman kegelapan, kebodohan dan
terkungkung dalam hegemoni kekuasaan gereja (The dark middle ages), sehingga
dapat dilihat dalam konteks sejarah bahwa dengan munculnya peradaban Islam di
Andalusia, telah menjadi jembatan bagi Eropa untuk mengetahui dan mempelajari
Ilmu pengetahuan khususnya filsafat. Dengan demikian dunia Islam telah
memberikan kontribusi yang besar bagi kemajuan Eropa.
Sebagai
seorang filosof, Ibnu Rusyd banyak memberikan kontribusinya dalam khasanah
dunia filsafat, baik filsafat yang berasal dari Yunani maupun yang berasal dari
filosof-filosof muslim sebelumnya. Ibnu Rusyd dalam filsafatnya sangat
mengagumi filsafat Aristoteles dan banyak memberikan ulasan-ulasan atau
komentar terhadap filsafat Aristoteles sehingga ia terkenal sebagai komentator
Aristoteles.
Dalam
makalah ini sekilas akan diuraikan beberapa pemikiran filsafat Ibnu Rusyd, biografi
dan karyanya, tanggapan terhadap kritik al-Ghazali, di samping pengaruh
pemikirannya dalam ilmu pengetahuan yang kemudian memunculkan gerakan
Averroisme di Barat.
B. Tujuan Penulisan
Adapun
tujuan penulisan dari makalah ini adalah untuk mengetahui tentang keteladanan
dan keutamaan Sifat Ibnu Rusyd dan Iqbal
BAB II
PEMBAHASAN
A. Ibnu Rusyd
1.
Biografi dan Pendidikannya
Nama lengkapnya, Abu Walid Muhammad
Ibnu Muhammad Ibnu Rusyd dilahirkan di Cordova sebuah kota di Andalus. Ia
terlahir pada tahun 510 H/126 M, Ia lebih populer dengan sebutan Ibnu
Rusyd. Orang barat menyebutnya dengan sebuah nama Averrois. Sebutan ini
sebenarnya di ambil dari nama kakeknya. Keturunannya berasal dari keluarga yang
alim dan terhormat, bahkan terkenal dengan keluarga yang memiliki banyak
keilmuan. Kakek dan ayahnya mantan hakim di Andalus dan ia sendiri pada tahun
565 H/1169 M diangkat pula menjadi hakim di Seville dan Cordova. Karena
prestasinya yang luar biasa dalam ilmu hukum, pada tahun 1173 M ia dipromosikan
menjadi ketua Mahkamah Agung, Qadhi al-Qudhat di Cordova.[1]
Dalam buku karangan Nurcholis
Madjid, dijelaskan tentang penamaan Ibnu Rusyd, bahwa penyebutan Averrios untuk
Ibnu Rusyd adalah akibat dari terjadinya metamorfose Yahudi-Spanyol-Latin. Oleh
orang Yahudi, kata Arab Ibnu diucapkan seperti kata Ibrani 9 bahasa Yahudi
dengan Aben. Sedangkan dalam standar Latin Rusyd menjadi Rochd. Dengan demikian
nama Ibnu Rusyd menjadi Aben Rochd. Akan tetapi, dalam bahasa Spanyol huruf
konsonan ”b” diubah menjadi ”v”, maka Aben menjadi Aven Rochd. Melalui
asimilasi huruf-huruf konsonan dalam bahasa Arab disebut Idgham kemudian
berubah menjadi Averrochd, karena dalam bahasa Latin tidak ada huruf ”sy”,
huruf ”sy” dan d dianggap dengan ”s” sehingga menjadi Averriosd. Kemudian,
rentetan ”s” dan ”d” dianggap sulit dalam bahasa Latin, maka huruf ”d”
dihilangkan sehingga menjadi Averros. Agar tidak terjadi kekacauan antara huruf
”s” dengan ”s” posesif maka antara ”o” dan ”s” diberi sisipan ”e” sehingga
Averroes, dan ”e” sering mendapat tekanan sehingga menjadi Averrois.[2]
Ibnu rusyd tumbuh dan hidup dalam
keluarga yang besar sekali ghairahnya pada ilmu pengetahuan. Hal itu terbukti,
Ibnu Rusyd bersama-sama merivisi buku Imam Malik, Al-Muwaththa, yang
dipelajarinya bersama ayahnya Abu Al-Qasim dan ia menghapalnya. Ia juga juga
mempelajari matematika, fisika, astronomi, logika, filsafat, dan ilmu
pengobatan. Guru-gurunya dalam ilmu-ilmu tersebut tidak terkenal, tetapi secara
keseluruhan Cordova terkenal sebagai pusat studi filsafat. Adapun seville
terkenal karena aktivitas-aktivitas artistiknya. Cordova pada saat itu menjadi
saingan bagi Damaskus, Baghdad, Kairo, dan kota-kota besar lainnya di
negeri-negeri Islam Timur.[3]
2. Karya-Karyanya
Sebagai seorang filsafat Islam di dunia
Islam bagian Barat, Ibnu Rusyd juga telah membuat sebuah karya dalam
tulisannya. Karya-karya Ibnu Rusyd benar-benar memuat sudut pandang ke arah
filsafat. Di antara karya-karyanya adalah sebagai berikut:
a. Tahafut
at-Tahafut. Kitab ini berupaya menjabarkan dengan menyanggah butir demi butir
keberatan terhadap al-Ghazali. Tahafut at-Tahafut lebih luwes daripada fashl
dalam menegaskan keunggulan agama yang didasarkan pada wahyu atas akal yang
dikaitkan dengan agama yang murni rasional. Akan tetapi, Tahafut at-Tahafut
juga setia kepada Fashl, melalui pandangan terhadap diri Nabi yang mempunyai
akl aktif untuk melihat gambaran-gambaran secara rasional. Seperti halnya juga
para filsuf, dan yang mengubah gambaran-gambaran tersebut dengan mengubah
imajinasi menjadi simbol-simbol yang sesuai kebutuhan orang awam. Dengan
demikian, rasioanlisme religius Ibnu Rusyd bukan sekedar reduksionisme, seperti
halnya paham Al-Muwahhidun, ini merupakan keyakinan pada kemungkinan untuk
membangun kemabli rantai penalaran secara aposteriori.[5]
b. Fash
al-Maqal fi ma bain al-Hikmat wa al-Syari’ah min al-Ittishal (Kitab ini
berisikan tentang hubungan antara filsafat dengan agama)
c. Al-Kasyf’an
Manahij al-Adillat fi ’Aqa’id al-Millat, (berisikan kritik terhadap metode para
ahli ilmu kalam dan sufi)
d. Bidayat
al-Mujtahid wa Nihayat al-Muqtashid, (berisikan uraian-uraian di bidang fiqih)
3. Pemikirannya
Sebagai
komentator Aristoteles tidak mengherankan jika pemikiran Ibnu Rusyd sangat
dipengaruhi oleh filosof Yunani kuno. Ibnu Rusyd menghabiskan waktunya untuk
membuat syarah atau komentar atas karya-karya Aristoteles, dan berusaha
mengembalikan pemikiran Aristoteles dalam bentuk aslinya. Di Eropa latin, Ibnu
Rusyd terkenal dengan nama Explainer (asy-Syarih) atau juru tafsir Aristoteles.
Sebagai juru tafsir martabatnya tak lebih rendah dari Alexandre d’Aphrodise
(filosof yang menafsirkan filsafat Aristoteles abad ke-2 Masehi) dan
Thamestius.[6]
Dalam
beberapa hal Ibnu Rusyd tidak sependapat dengan tokoh-tokoh filosof muslim
sebelumnya, seperti al-Farabi dan Ibnu Sina dalam memahami filsafat
Aristoteles, walaupun dalam beberapa persoalan filsafat ia tidak bisa lepas
dari pendapat dari kedua filosof muslim tersebut. Menurutnya pemikiran
Aristoteles telah bercampur baur dengan unsur-unsur Platonisme yang dibawa
komentator-komentator Alexandria. Oleh karena itu, Ibnu Rusyd dianggap berjasa
besar dalam memurnikan kembali filsafat Aristoteles. Atas saran gurunya Ibnu
Thufail yang memintanya untuk menerjemahkan fikiran-fikiran Aristoteles pada masa
dinasti Muwahhidun tahun 557-559 H.[7]
Namun
demikian, walaupun Ibnu Rusyd sangat mengagumi Aristoteles bukan berarti dalam
berfilsafat ia selalu mengekor dan menjiplak filsafat Aristoteles. Ibnu Rusyd
juga memiliki pandangan tersendiri dalam tema-tema filsafat yang menjadikannya
sebagai filosof Muslim besar dan terkenal pada masa klasik hingga sekarang.
Pemikiran
Epistemologi Ibn Rusyd
Dalam
kitabnya Fash al Maqal ini, ibn Rusyd berpandangan bahwa mempelajari filsafat
bisa dihukumi wajib. Dengan dasar argumentasi bahwa filsafat tak ubahnya
mempelajari hal-hal yang wujud yang lantas orang berusaha menarik pelajaran /
hikmah / ’ibrah darinya, sebagai sarana pembuktian akan adanya Tuhan Sang Maha
Pencipta. Semakin sempurna pengetahuan seseorang tentang maujud atau tentang
ciptaan Tuhan , maka semakin sempurnalah ia bisa mendekati pengetahuan tentang
adanya Tuhan. Bahkan dalam banyak ayat-ayat-Nya Tuhan mendorong manusia untuk
senantiasa menggunakan daya nalarnya dalam merenungi ciptaan-ciptaan-Nya.
Jika
kemudian seseorang dalam pemikirannya semakin menjauh dengan dasar-dasar
Syar’iy maka ada beberapa kemungkinan, pertama, ia tidak memiliki kemampuan /
kapasitas yang memadai berkecimpung dalam dunia filsafat, kedua, ketidakmampuan
dirinya mengendalikan diri untuk untuk tidak terseret pada hal-hal yang
dilarang oleh agama dan yang ketiga adalah ketiadaan pendamping /guru yang
handal yang bisa membimbingnya memahami dengan benar tentang suatu obyek
pemikiran tertentu.
Oleh
karena itu tidak mungkin filsuf akan berubah menjadi mujtahid, tidak
mempercayai eksistensi Tuhan/ meragukan keberadaaan Tuhan, Kalaupun ia berada
dalam kondisi semacam itu bisa dipastikan ia mengalami salah satu dari 3 faktor
di atas, atau terdapat dalam dirinya gabungan 2 atau 3 faktor-faktor tersebut.
Sebab kemmapuan manusia dalam menenrima kebenaran dan bertindak dalam mencari
pengetahuan berbeda-beda. Ibn Rusyd berpendapat ada 3 macam cara manusia dalam
memperoleh pengetahuan yakni:
a. Lewat
metode al- Khatabiyyah (Retorika)
b. lewat
metode al-Jadaliyyah (dialektika)
c. Lewat
metode al-Burhaniyyah (demonstratif)[8]
Pertama, Metode Khatabi digunakan
oleh mereka yang sama sekali tidak termasuk ahli takwil , yaitu orang-orang
yang berfikir retorik, yang merupakan mayoritas manusia. Sebab tidak ada
seorangpun yang berakal sehat kecuali dari kelompok manusia dengan kriteria
pembuktian semacam ini (khatabi)
Kedua, Metode Jadali dipergunakan
oleh mereka yang termasuk ahli dalam melakukan ta’wil dialektika. Mereka itu
secara alamiyah atau tradisi mampu berfikir secara dialektik.
Ketiga, Metode Burhani dipergunakan
oleh mereka yang termasuk ahli dalam melakukan ta’wil yaqini. Mereka itu secara
alamiah mampu karena latihan, yakni latihan filsafat, sehingga mampu berfikir
secara demonstratif. Ta’wil yang dilakukan dengan metode Burhani sangat tidak
layak untuk diajarkan atau disebarkan kepada mereka yang berfikir dialektik
terlebih orang-orang yang berfikir retorik. Sebab jika metode ta’wil burhani
diberikan kepada mereka justru bisa menjerumuskan kepada kekafiran .
Penyebabnya dalah karena tujuan ta’wil itu tak lain adalah membatalkan
pemahaman lahiriyah dan menetapkan pemahaman secara interpretatif. Pernyataan
ini merujuk pada Qur’an surat Al-Isra’ : 85 :
Artinya:
Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: "Roh itu termasuk
urusan Tuhan-ku. (Q.S. Al-Israa’: 85)
Allah SWT tidak menjelaskan pengertian ruh karena tingkat kecerdasan mereka itu tidak / belum memadai sehingga dikhawatirkan justru hal itu akan menyusahkan mereka.