Informasi Lainnya

Makalah AL Urf dan Syaru man Qoblana Lengkap



1. Al-Urf
2. Syar’u Man Qoblana
3. Ijtihad

BAB I
PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang
Ilmu Ushul Fiqih merupakan salah satu intsrumen penting yang harus dipenuhi oleh siapapun yang ingin menjalankan atau melakukan mekanisme ijtihad dan istinbath hukum dalam Islam. Itulah sebabnya tidak mengherankan jika dalam pembahasan kriteria seorang mujtahid, penguasaan akan ilmu ini dimasukkan sebagai salah satu syarat mutlaknya. Atau dengan kata lain, untuk menjaga agar proses ijtihad dan istinbath tetap berada pada koridor yang semestinya, Ushul Fiqih-lah salah satu “penjaga”nya.
Meskipun demikian, ada satu fakta yang tidak dapat dipungkiri bahwa penguasaan Ushul Fiqih tidaklah serta merta menjamin kesatuan hasil ijtihad dan istinbath para mujtahid. Disamping faktor eksternal Ushul Fiqih itu sendiri –seperti penentuan keshahihan suatu hadits misalnya-, internal Ushul Fiqih sendiri –pada sebagian masalahnya- mengalami perdebatan (ikhtilaf) di kalangan para Ushuluyyin. Inilah yang kemudian dikenal dengan istilah al-Adillah(sebagian ahli Ushul menyebutnya: al-Ushul) al-Mukhtalaf fiha, atau “Dalil-dalil yang diperselisihkan penggunaannya” dalam penggalian dan penyimpulan hukum.
Salah satu dalil itu adalah apa yang dikenal dengan al_'Urf (selanjutnya disebut sebagai 'urf atau adat). Makalah ini akan menguraikan tentang hakikat al-'urf tersebut, bagaimana pandangan para ulama tentangnya, serta beberapa hal lain yang terkait dengannya. Wallahul muwaffiq

B.       Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan dari makalah ini adalah untuk mengetahui tentang
1.      Al-Urf
2.      Syar’u Man Qoblana
3.      Ijtihad

  


BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Al-urf
Al-urf secara harfiah adalah berarti sebuah keadaan , ucapan, perbuatan, atau ketentuan yang telah dikenal manusia dan telah menjadi tradisi untuk melaksanakannya atau meninggalkannya. Dibeberapa masyarakat, Urf ini sering disebut juga sebagai adat istiadat.
Sedangkan menurut Syeikh Abdul Wahab, Al-urf adalah apa yang saling diketahui dan yang saling dijalani orang. Baik berupa perkataan, perbuatan, atau meninggalkannya. Pengertian sebelumnya juga sama dengan pengertian para ahli Syara’, bahwa contoh Al-urf itu bisa berupa suatu yang bersifat perbuatan dengan adanya saling pengertian diantara sesama manusia tentang jual beli tanpa adanya Syighot. Sedangkan jika berupa perkataan adalah adanya pengertian tentang kemutlakan lafad al-walad atas anak laki-laki bukan perempuan, dan juag tentang meng-itlak-kan lafadz L-Lhm Yang bermakna daging atas as-samak yang bermakna ikan tawar.
Dengan demikian Urf mencakup sikap saling pengertian diantara manusia atas perbedaan tingkatan diantara mereka. Baik keumumannya maupun kekhususannya. Maka Urf berbeda dengan ijma’ karena ijma’ merupakan tradisi dari kesepakatan para mujtahidin secara khusus.

a. Yang membolehkan dan tidak perihal Al-urf
Ibnu Hajar seperti yang disebutkan al-Khayyath, mengatakan bahwa para ulama’ Syafi’iyah tidak membolehkan berhujjah dengan Al-urf apabila dalam Urf tersebut bertentangan dengan nash.
Sedangka ulaam Hanafiyah dan Malikiyah menjadikan Urf sebagai dalil hukum yang Mustakil dalam amsalah-masalah yang tidak ada Nashnya yang Qathi’ serta tidak ada larangan Syara’ terhadap Mutlak, dan Urf ini didahulukan pemakaiannya dari pada Qiyas.
Kalau ulama’ Hanabillah menerima Urf ini selama ia tersebut tidak bertentangan dengan edngan nash.
Dan dari ulama’ Syi’ah menrima Urf dan memandangnya sebagai dalil hukum yang tidak mandiri tetapi harus terkait dengan dalil lainnya, yakni Al-qur’an dan Al-hadits.


b. Macam-macam Al-urf
Jika dilihat dari baik dan buruknya Urf dapat dibagi menjadi dua, yaitu :
a. Urf Sahih
yaitu sesuatu yang telah saling dikenal oleh manusia dan tidak bertentangan dengan Syara’. Tidak menghalalkan yang telah diharamkan oleh Syara’ dan tidak mengharamkan yang telah dihalalkan oleh Syara’, serta tidak membatalkan yang wajib. Seperti adanya pengertian diantara manusia tentang kontrak borongan, pembagian mas kawin (mahar) yang didahulukan dan diakhirkan. Begitu pila dengan istri yang tidak mau menyerahkan dirinya kepada suami asal jika tidak telah menerima sebagian dari maharnya. Juga tentang sesuatu yang telah diberikan oleh pelamar (calon suami) kepaad calon istri, berupa perhiasan, pakaian, atau apa saja, yang dianggap sebagai hadiah dan bukan sebagai mahar.
b. Urf fasid
yaitu sesuatu yang telah saling dikenal manusia, tetapi bertentangan dengan Syara’, atau menghalalkan yang telah diharamkan oleh Syara’, dan juga mengharamkan yang telah dihalalkan oleh Syara’, seperti adanya saling pengertian diantara mausia tentang beberapa perbuatan munkar dalam upacara kelahiran anak, juga tentang memakan barang Riba’ dan kontrak judi.
sedangkan jika dilihat dari sudut tradisinya, Urf terbagi menjadi dua, yaitu :
a. Urf perkataan
yaitu kebiasaan penggunaan kata-kata tertentu yang mempunyai implikasi hukum, dan telah disepakati secara bersama oleh masyarakat. Seperti penggunaan kata Haram untuk perceraian. Dengan demikian, kalau seorang suami mengucapkan perkataan “engkau haram bagiku” terhadap istrinya, maka telah jatuh talak satu.
b. Urf Perkataan
yaitu berupa tindakan atau perbuatan yang telah menjadi kesepakatan, dan mempunyai implikasi hukum. Seperti pemakaian kamar mandi umum yang dengan membayar tarif tertentu tanpa batas waktu. Dengan demikian “sewa tertentu” cukup untuk pemakaian kamar mani atau wc umum tersebut dalam rentang waktu sesuai kebutuhan.
Hal ini atas dasar hadits nabi dari riwayat ahmad, bahwa “ dari ibnu Mas’ud beliau berkata , Rasulullah bersabda, apa yang menurut orang-orang islam itu baik, niscaya menurut Allah juga baik”.
Maka atas dasar hadits di atas itulah kemudia para para ulama’ fiqih dari golongan yang memakai urf falam proses kajian hukumnya mengeluarkan kaedah “Al-adatu- mukhakkamah” yang artinya bahwa kebiasaan-kebiasaan masyarakat itu dapat dijadikan rujukan dalam pembahasan hukum.

c. Hikmah Urf
Urf yang sahih itu wajib dipelihara pada tasyri’ dan pada hukum. Mujtahid harus memeliharanya pada tasyri’ nya itu. Dan bagi hakim memeliharanya itu pada hukumnya. Karena apa yang saling diketahui orang itu dan apa yang saling dijalani orang itu dapat dijadika hujjah, kesepakatan, dan kemaslahatan mereka. Selama tidak menyalahi syari’at, maka wajib meemliharanya.
Imam Malik membina kebanyakan hukum-hukumnya itu terhadap perbuatan penduduk Madinah..ulama almarhum Ibnu Abidin telah menyusun sebuah risalah yang dinamakannya, membetangkan arfu dari apa yang dibina dari hukum-hukum terhadap urf. Ada kata-kata yang masyhur mengatakan, yang diketahui urf itu adalah seperti yang di isyaratkan Syara’. Yang ditetapkan dengan urf itu adalah seperti yang ditetapkan dengan nash.
Adapun akad in diperhitungkan dari segi kepentingan orag atau kebutuhan orang yang sangat mendesak. Sebab apabila terjadi penipuan membatalkan peraturan hidup, atau orang yagn mendapatkan kesulitan, atau kesempitan atau bukan. Jika ada suatu hal yang sangat mendesak dibutuhkan, maka disini diperbolehkan. Karena hal-hal yang sangat mendesak itu membolehkan hal-hal yang dilarang..

d. Kehujjahan Al-urf
Urf menurut penyelidikan bukan merupakan dalil Syara’ tersendiri. Pada umumnya, urf ditujukan untuk memelihara kemaslahatan umat serta menunjang pembentukan hukum dan penafsiran beberapa nash. Dengan urf dikhususkan lafal yang umum dan dibatasi yang mutlak, karena urf pula terkadang qiyas ditinggalkan. Karena itu pula, sah apabila mengadakan kontrak borongan apabila Urf sudah terbiasa dengan hal in, sekalipun tidak sah menurut Qiyas, karena kontrak tersebut adalah kontrak atas perkara yang Ma’dum (tiada).

e. Hukum Urf
a. Urf Shahih dalam pandangan para ulama’
Telah disepakati bahwa urf yang shahih itu harus dipelihara dalam pembentukan hukum dan pengadilan. Maka seorang mujtahid diharuskan untuk memeliharanya ketika ia menetapkan hukum. Begitu pula seorang hakim harus memeliharanya ketika ia sedang mengadili. Sesuatu yang telah dikenal manusia meskipun tidak menjadi adat kebiasaan, tetapi telah disepakati dan dianggap mendatangkan kemaslahatan bagi manusia serta selama hal itu tidak bertentangan dengan Syara’ harus dipelihara.
Diantara ulama’ ada yang berkata “adat adalah Syari’at yang dikukuhkan sebagai hukum” begitu pula Urf yang menurut Syara’ mendapat pengakuan hukum. Imam malik mendasarkan sebagian besar hukunya pada perbuatan penduduk madinah. Abu Hanifah bersama murid-muridnya berbeda pendapat dalam beberapa hukum dengan atas dasar perbuatan Urf mereka. Sedangkan imam Syafi’i ketika sudah berada di Mesir mengubah sebagian pendapat tentang hukum yang telah dikeluarkannya ketika berada di Baghdad, hal ini disebabkan karena adanya perbedaan dalam hal Urf mereka. Maka kemudia tak heran jika beliau kemudian mempunyai dua madzhab, yaitu madzhab Qodim (terdahulu/pertama) dan madzhab Jadid (baru)
b. Urf yang fasid
Urf ini tidak diharuskan dalam pemeliharaannya,karena memeliharanya berarti menentang dalil Syara’, atau pula membatalkan dalil Sayra’ tersebut. Apabila masyarakat atau manusia sudah saling mengerti bahwa Urf yang berupa akad-akad itu rusak, seperti dalam Riba’. Maka bagi Urf ini tidak mempunyai pengaruh dalam membolehkannya.
Hukum-hukum yang didasarkan pada Urf itu dapat berubah menurut perubahan zaman dan perubahan asalnya. Karena itu para Fuqoha’ berkata, “perselisihan itu adalah perselisihan masa dan zaman, bukan perselisihan hujjah dan bukti.

B.       Syar'u Man Qablana
Pengertian Syar'u Man Qablana
Ada beberapa pengertian tentang syar’u man qablana, diantaranya ;
o   Syar’u man qablana artinya syariat sebelum Islam.
o   Syar ‘u man qablana ialah syari ‘at yang diturunkan Allah kepada umat sebelum kita, yaitu ajaran agama sebelum datangnya ajaran agama Islam, seperti ajaran agama Nabi Musa, Isa, Ibrahim, dan lain-lain.
o    “Segala apa yang dinukilkan kepada kita dari hukum-hukum syara yang telah disyaratkan Allah swt. bagi umat-umat dahulu melalui nabi-nabinya yang diutus kepada umat itu seperti Nabi Ibrahim, Nabi Musa, dan Nabi Isya as.”
o   Syar’u man qablana atau syari’at sebelum kita maksudnya adalah “hokum-hukum yang telah disyari’atkan untuk umat sebelum kita (sebelum Islam) yang dibawa oleh Nabi dan Rasul terdahulu dan menjadi beban hukum untuk diikuti oleh umat dimasa itu.

Para ulama sepakat mengatakan bahwa semua syariat yang diturunkan Allah sebelum Islam melalui para Rasul-Nya telah dibatalkan secara umum oleh syari’at Islam. Pembatalan itu secara menyeluruh dan rinci, karena masih banyak hukum-hukum syari’at sebelum Islam yang masih berlaku dalam syari’at Islam seperti ; beriman kepada Allah, hukuman bagi orang yang melakukan zina, hukuman qishash dan hukuman bagi orang yang melakukan tindak pidana pencurian.
Dari pembahasan di atas dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan syar’u man qablana adalah syariat yang dibawa oleh para rasul sebelum Muhammad yang menjadi petunjuk bagi kaumnya, seperti syariat Nabi Ibrahim, Nabi Musa, Nabi Isa,dll.

a.   Kedudukan Syar’u Man Qablana
Pada prinsipnya, syariat yang diperuntukkan Allah bagi umat terdahulu mempunyai asas yang sama dengan syariat yang dibawa Nabi Muhammad.
Diantara asas yang sama itu adalah yang berhubungan dengan konsepsi ketuhanan, tentang akhirat, tentang janji, dan ancaman Allah. Sedangkan rinciannya ada yang sama dan ada juga yang berbeda sesuai dengan kondisi dan perkembangan zaman masing-masing.
Oleh karena itu terdapat penghapusan terhadap sebagian hukum umat-umat yang sebelum kita (umat Islam) dengan datangnya syariat Islamiyah dan sebagian lagi hukum-hukum umat yang terdahulu tetap berlaku, seperti qishash.

b.   Pembagian Syar’u Man Qablana
a.   Ajaran agama yang telah dihapuskan oleh syari’at kita (dimansukh)
Jika Alqur’an dan Hadis shahih menerangkan suatu hukum yang disyari’atkan kepada umat terdahulu kemudian datang dalil nash  yang membatalkannya, ulama sepakat bahwa hukum itu bukanlah syari’at kita karena sudah ada yang membatalkannya. Misalnya, syari’at keharusan bunuh diri bagi orang yang berbuat maksiat sebagai syarat pengampunan dosanya pada zaman Nabi Musa.
Dan syarat keharusan memotong kain yang terkena najis sebagai syarat menyucikan pakaian/kain itu sendiri di zaman Nabi Musa. Kedua kasus ini hukumnya telah dibatalkan dengan firman Allah surat Hud :
b.   Ajaran yang disyari’atkan oleh  kita
Bila Al-Qur’an atau hadis shahih menerangkan suatu hukum yang disyari’atkan kepada umat sebelum Islam, lalu Al-Qur’an dan hadis itu menetapkan bahwa hukum itu wajib pula kepada umat Islam untuk mengerjakannya, tidak diragukan lagi bahwa hukum tersebut adalah syari’at yang harus ditaati umat Islam. Misalnya kewajiban berpuasa, kewajiban ini telah diwajibkan kepada umat sebelum Islam. Kemudian setelah datang agama Islam, syari’at semacam itu diwajibkan lagi bagi orang Islam, sebagaimana tercantum dalam surat Al-Baqarah : 183
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa”

c.   Ajaran yang tidak ditetapkan oleh Syari’at kita
                   i.      Yang diberitakan kepada kita baik melalui al-Qur’an atau as-Sunnah, tetapi tidak tegas diwajibkan kepada kita sebagaimana diwajibkan kepada umat sebelum kita.
                 ii.      Yang tidak disebut-sebut (diceritakan) oleh syari’at kita.

Untuk hal ini ada dua pendapat, yaitu;
·         Pendapat pertama, menyatakan bahwa syariat sebelum Islam tidak menjadi syariat bagi Rasulullah saw. dan umatnya.
·         Pendapat kedua bila hukum yang diterangkan Allah dan Rasulnya bagi umat terdahulu, tidak ada nash yang menunjukan bahwa hal itu diwajibkan bagi kita sebagaimana diwajibkan juga bagi mereka, atau tidak ada nash bahwa hukum itu telah dihapuskan.

Dengan perbedaan pendapat di atas, maka ada hal yang disepakati ulama :
o   Hukum-hukum syara yang ditetapkan bagi umat sebelum kita, tidaklah dianggap ada tanpa melalui sumber-sumber hukum Islam, karena dikalangan umat Islam nilai sesuatu hukum didasarkan kepada sumber-sumber hukum Islam.
o   Segala sesuatu hukum yang dihapuskan dengan syariat Islam, otomatis hukum tersebut tidak bisa berlaku lagi bagi kita. Demikian juga hukum-hukum yang dikhususkan bagi umat tertentu, tidak berlaku bagi umat Islam, seperti keharaman beberapa makanan, misalnya daging bagi Bani Israil.
o   Segala yang ditetapkan dengan nash yang dihargai oleh Islam seperti juga ditetapkan oleh agama samawi yang telah lalu, tetap berlaku bagi umat Islam, karena ketetapan nash Islam itu tadi bukan karena ditetapkannya  bagi umat yang telah lalu. Sedangkan Muhammad Abu Zahrah menyatakan, apabila syariat sebelum Islam itu dinyatakan dengan dalil khusus bahwa hukum-hukum itu khusus bagi mereka, maka tidak wajib bagi umat Islam untuk mengikutinya. Namun apabila hukum-hukum itu bersipat umum, maka hukumnya juga berlaku umum bagi seluruh umat, seperti hukum qishash dan puasa yang ada dalam Alquran.

C. Ijtihad
DEFINISI IJTIHAD
Secara etimologis (istilah bahasa) ijtihad berarti mengerahkan energi untuk menyatakan suatu perkara tertentu baik itu bersifat materi atau maknawi.
Secara istilah fiqih Islam ijtihad adalah 
(a)                           mengerahkan upaya serius untuk melakukana pengambilans hukum syariah dari dalil-dalil syariah.; atau
(b)                           Upaya yang sungguh-sungguh untuk mengusahakan produk hukum syariah baik yang aqliyah atau naqliyah berdasarkan sumber-sumber yang sudah tetap seperti Al Quran, hadits, ijmak, qiyas dan lain-lain.
DALIL DASAR IJTIHAD
QS An-Nahl 16:43 dan Al-Anbiya' 21:7
Artinya:
.. maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui
Hadits muttafaq alaih (Bukhari Muslim) dan Ahmad

Artinya: Apabila seorang hakim membuat keputusan apabila dia berijtihad dan benar maka dia mendapat dua pahala apabila salah maka ia mendapat satu pahala.

Hadits riwayat Ahmad, Abu Daud dan Tirmidzi

Artinya: Ketika Nabi mengutus Sahabat Muadz bin Jabal ke Yaman sebagai hakim Nabi bertanya: Bagaimana cara kamu menghukumi suatu masalah hukum? Muadz menjawab: Saya akan putuskan dengan Quran. Nabi bertanya: Apabila tidak kamu temukan dalam Quran? Muadz menjawab: Dengan sunnah Rasulullah. Nabi bertanya: Kalau tidak kamu temukan? Muadz menjawab: Saya akan berijtihad dengan pendapat saya dan tidak akan melihat ke lainnya. Muadz berkata: Lalu Nabi memukul dadaku dan bersabda: Segala puji bagi Allah yang telah memberi pertolongan pada utusannya Rasulullah karena Nabi menyukai sikap Muadz.

HUKUM IJTIHAD
Hukum ijtihad adalah wajib bagi yang mampu dan memenuhi syarat untuk melakukannya. Adapun ijtihad adalah proses pengambilan hukum (istinbat al-hukm) yang harus dilakukan dengan hati-hati oleh ahli di bidangnya.

BIDANG IJTIHAD
Bidang yang dapat diijtihadi adalah hukum syariah praktis yang tidak terdapat hukum yang pasti dalam Quran dan hadits. Sedangkan masalah yang pasti tidak berada dalam domain ijtihad seperti wajibnya shalat dan jumlah rakaatnya. Dan perkara yang diharamkan yang sudah tetap berdasarkan dalil yang pasti seperti haramnya riba dan membunuh tanpa hak.

MENGAPA HARUS ADA IJTIHAD
Sebagaimana diakui oleh Nabi dalam hadits Mua'ad bin Jabal di atas, bahwa ada kemungkinan Quran dan hadits tidak menyebut secara langsung sejumlah kasus hukum dan solusinya. Dalam konteks ini maka pintu ijtihad terbuka bagi mereka yang memiliki pemahaman ilmu agama yang diperlukan. Tujuannya: untuk memberi solusi hukum bagi masyarakat Islam di setiap zaman dan generasi yang berbeda.

SYARAT-SYARAT IJTIHAD & ORANG YANG DAPAT MENJADI MUJTAHID 
Para ulama sepakat bahwa ijtihad boleh dilakukan oleh ahlinya yang memenuhi persyaratan keilmuan seorang mujtahid. Beberapa persyaratan keilmuan seorang mujtahid yang tersebut dalam kitab-kitab ushul adalah sebagai berikut:
  1. Islam, berakal sehat, dewasa (baligh).
  2. Menguasai nash (teks) Al-Quran yang berkaitan dengan hukum yang sering disebut ayat ahkam. Jumlahnya sekitar 500 ayat.
  3. Mengetahui hadits-hadits yang terkait dengan hukum .
  4. Mengetahui masalah hukum yang sudah menjadi ijmak (kesepakatan) ulama dan yang masih terjadi khilaf/ikhtilaf (perbedaan) di antara fuqoha (ulama fiqih). Tujuannya agar tidak mengeluarkan fatwa yang bertentangan dengan ijmak atau mengaku ijmak pada hukum yang bukan ijmak atau mengeluarkan pendapat baru yang belum terjadi.
  5. Mengetahui qiyas karena qiyah adalah rujukan ijtihad dan awal dari pendapat. Dari qiyas muncul produk hukum. Orang yang tidak mengetahui qiyas tidak memungkinkan melakukan pengambilan hukum (instinbt al-hukmi).
  6. Harus menguasai bahasa Arab dan konteks pembicaraannya sehingga dapat membedakan antara hukum-hukum yang pemahamannya harus merujuk pada bahasa, seperti kalam sharih (teks eksplisit) dan teks faktual (dzahirul kalam), ringkasan (mujmal) dan detail, umum dan khusus, pengertian hakikat dan majaz (kiasan). 
  7. Mengetahui nasikh dan mansukh baik yang terdapat dalam Quran maupun hadits sehingg tidak membuat produk hukum berdasar pada nash (teks) yang sudah dimansukh.
  8. Mengetahui keadaan perawi hadits dalam segi kekuatan dan kelemahannya. Membedakan hadits sahih dari yang dhaif atau maudhu', yang maqbul (diterima) dari yang mardud (tertolak).
  9. Memiliki kecerdasan dan kemampuan dalam bidang pengembilan hukum yang dihasilkan dari pembelajaran dan pendalaman dalam masalah dan studi hukum syariah.
  10. Adil. Dalam arti bukan fasiq. Fasiq adalah orang yang pernah melakukan dosa besar atau terus-menerus melakukan dosa kecil.
Syarat-syarat keilmuan di atas tidak harus dikuasai secara sangat mendalam. Yang terpenting adalah memiliki pemahaman yang baik (tingkat menengah) pada ilmu-ilmu di atas.
Sebagian ulama juga mensyaratkan penguasaan pada ilmu mantiq dan ilmu kalam. Namun, sebagian besar ulama tidak mensyaratkannya. 

BENTUK PENYEBARAN IJTIHAD
Seorang ulama yang ahli di bidang hukum fiqih (syariah) memiliki beberapa cara untuk mengeluarkan dan menyebarkan hasil ijtihadnya sebagai berikut:
  1. Fatwa. Menerbitkan fatwa sudah menjadi tradisi yang dilakukan sejak zaman Sahabat. Yang paling terkenal seperti Muadz bin Jabal, Umar bin Khatab, Zaid bin Tsabit. Pada saat ini, pemberian fatwa dilakukan dengan beberapa cara mulai dari peneribitan majalah dan internet yang kemudian dibukukan.
  2. Studi kajian dan pembahasan mendalam pada tingkat master atau doktoral di universitas. Seperti Kitabuz Zakah karya Yusuf Qardhawi yang merupakan disertasi doktoralnya dari Al-Azhar.
  3. Kodifikasi hukum untuk bidang-bidang tertentu. Ini biasa dilakukan oleh para ahli hukum fiqih yang juga menjadi pejabat pengadilan agama di negara masing-masing. Di Indonesia contohnya seperti UU Perkawinan No 01 tahun 1974 dan KHI atau Kodifikasi Hukum Islam.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Urf merupakan suatu yang ada dalam suatu masyarakat yang terbentuk melalui suatu kebudayaan lokal, dan sudah seperti mendarah daging bagi para penghuninya. Sehingga dalam ini Sayra’ tidak mengeluarkan suatu larangan apapun jika dalam Urf tersebut memang membawa masyarakat atau mausia itu dalam sebuah kemaslahatan yang sejalan dengan hukum islam, serta sebaliknya, jika dalam pelaksanaan Urf ini ada yang tidak sesuai dengan Syara’ Islam, maka Urf ini merupakan hal yang tidak diperbolehkan. Dengan kata lain Urf itu tidak boleh mengharamkan apa yangdihalalkan oleh Syara’, dan mengharamkan apa yang dihalalkan oleh syara’.
Islam yang Rohmatan Lil Alamin ini yang merupaakn dasar islam itu sendiri, islam memberikan kebebasan bagi mereak untuk mengimplementasika islam menurut hasil imajenasi mereka, menurut kebebasan mereka asalkan ini tidak melawan dari Al-qur’an dan Al-hadits.
Urf suatu golongan tertentu tidak bisa dipakai dalam golongan lain, kalaupun ada itu hanya merupakan sifat dasar manusia yang memang secara lahirnya Fitroh. Sehingga lewat Urf in, pemahaman mereak tentang islam lebih bisa menjadi apa yang dikatakan sebagai Way is islam. Islam tersebut sebaagi dasar berkehidupan di dalam ini, dan tidak hanya pada tataran ritualitas saja, seperti yang ditatarkan oleh beberapa kalangan ekstrim belakangan in.
Syar’u Man Qablana adalah setiap hukum yang disyari’atkan Allah pada umat-umat terdahulu melalui pelantara setiap rasul, Nabi SAW megikuti syariat Nabi Ibrahim AS sbelum mendapat kitab al-Qur’an.
Hakikat syar’u man qablana pada intinya adalah adanya upaya dalam memahami syari’at-syari'at terdahulu sebelum syari’at Nabi Muhammad (Islam), syari’at Nabi Muhammad adalah penutup segala syari’at yang diturunkan Tuhan. Syar’u Man Qablana  ada tiga macam bentuknya, yang di nasakh, yang di lanjutkan dan yang di biarkan saja. Ada beberapa pandangan dalam memahami syar'u man qablana. Ada yang memahaminya sebagai pembatas (takhsis), nasikh dan bahkan sebagai metode, tetapi semua ini berkaitan dengan keberlakuan syari'at umat terdahulu, apakah ia masih berlaku atau sudah dibatalkan berdasarkan dalil normatif dalam Alqur’an yang secara tegas menyebutkan hal tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

Bazdawi, Ali bin Muhammad. t.t. Ushûl BazdawîKanzû al-Wushûl ilâ Ma'rifati al-Ushûl, Karatisy: Jawid Baris
        Bakri, Asafri Jaya. 1996. Konsep Maqashid Syari'ah Menurut al-Syathibi, Jakarta: Raja Grafindo Persada
        Cholil, Harisuddin, M. Ag. 2003. Ushul Fiqh I. Nganjuk: STAIM Press
        Ghazali, Abi Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad., 2000, al-Mustashfâ fî Ilm al-Ushûl. Libanon: Dar al-Kutub al-Ilmiyah
        Hanafie . A . 1993 . Ushul Fiqh . Jakarta : Widjaya Kusuma
        Hazm, Ibnu. 1404. Al-Ihkâm fî Ushûl al-Ahkâm, Juz 5, Kairo: Dâr al-Hadits
        Khallaf, Abdul Wahhab. 1978. Ilmu Ushûl al-Fiqh, Kairo : Dar al-Qalam
        Nuruddin, Amiur. 1991. Ijtihad Umar bin al-Khaththab: Studi tentang Perubahan Hukum dalam Islam, Jakarta : Rajawali Pers
        Yahya, Mukhtar dan Fatchurrahman. 1993. Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islami, Bandung: al-Ma'arif

        Zuhaily, Wahbah. 2001. Ushûl al-Fiqh al-Islâmy, Jilid 1 dan 2, Syuriah: Dâr al-Fikr

0 Response to "Makalah AL Urf dan Syaru man Qoblana Lengkap"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel