Makalah Kedudukan Akal dan Wahyu dan Klasifikasi Ilmu dalam Islam
Kedudukan Akal dan Wahyu dan Klasifikasi Ilmu dalam Islam
BAB I
PEMBAHASAN
A. Latar Belakang
Dalam ajaran agama yang di wahyukan ada 2 (dua) jalan untuk memperoleh pengetahuan, pertama, jalan wahyu dalam arti komunikasi dari Tuhan kepada manusia, dan kedua jalan akal, yang dianugerahkan Tuhan kepada manusia, dengan memakai kesan-kesan yang diperoleh panca indera sebagai bahan pemikiran untuk sampai kepada kesimpulan-kesimpulan. Pengetahuan yang dibawa wahyu diyakini bersifat absolut dan mutlak benar, sedang pengetahuan yang diperoleh melalui akal bersifat relatif, mungkin benar dan mungkin salah.
Akal dan Wahyu adalah bekal pokok dalam mendalami masalah seputar ketuhanan dan perilaku manusia sebagai makhluk yang beradab dan berkeyakinan. Akal merupakan perangkat yang diberikan Tuhan kepada manusia. Inilah yang membedakannya dengan makhluk lain. Meskipun Malaikat diberi akal oleh Tuhan, namun derajatnya masih di bawah manusia, jika manusia dapat menggunakan akalnya sesuai dengan ketentuan Tuhan. Oleh karena itu, tidak berlebihan jika manusia menduduki derajat tertinggi di sisi Tuhan. Menurut al-Jurjani (w. 793 H), akal merupakan perangkat yang berdiri sendiri dari susunan organ tubuh, namun menjadi kreator penggerak dan operator organ lain.
B. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan dari makalah ini adalah untuk mengetahui Kedudukan Akal dan Wahyu dan Klasifikasi Ilmu dalam Islam
BAB II
PEMBAHASAN
A. Akal dan Fungsinya
Didalam bahasa arab, akal diartikan kecerdasan, lawan kebodohan, dan diartikan pula dengan hati (qalb), suatu kekuatan yang membedakan manusia dari semua jenis hewan yang ada dimuka bumi.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, akal adalah daya pikir untuk memahami sesuatu atau kemampuan melihat cara-cara memahami lingkungannya. Dalam penelitian ini, yang dimaksud dengan akal adalah gabungan dari dua pengertian di atas, yang disampaikan oleh Ibn Taimiyah dan menurut kamus, yakni daya pikir untuk memahami sesuatu, yang di dalamnya terdapat kemungkinan bahwa pemahaman yang didapat oleh akal bisa salah atau bisa benar.
Kamus bahasa Arab Lisan Al-‘Arab menjelaskan bahwa al-‘aql berarti al-hijr menahan dan al-‘aqil ialah orang yang menahan diri dan mengekang hawa nafsu. Seterusnya diterangkan pula bahwa al-‘aql mengandung arti kebijaksanaan, al-nuha, lawan dari lemah pikiran, al-humq. Selanjutnya disebut bahwa al-‘aql juga mengandung arti kalbu, al-qalb.
Arti asli dari kata ‘aqala kelihatannya adalah mengikat dan menahan dan orang yang ‘aqil di jaman jahiliah, yang dikenal dengan hamiyyah atau darah panasnya, adalah orang yang dapat menahan amarahnya dan oleh karenanya dapat mengambil sikap dan tindakan yang berisi kebijaksanaan dalam mengatasi masalah yang dihadapinya. Dalam pemahaman Profesor Izutsu (Harun Nasution, 1986), kata ‘aql di jaman jahiliah dipakai dalam arti kecerdasan praktis (practical intelligence) yang dalam istilah psikologi mpdern disebut kecakapan memecahkan masalah (problem-solving capacity). Orang berakal, menurut pendapatnya adalah, orang yang mempunyai kecakapan untuk menyelesaikan masalah, setiap kali ia dihadapkan dengan problema dan selanjutnya dapat melepaskan diri dari bahaya yang ia hadapi. Kebijaksanaan praktis serupa ini amat dihargai oleh orang Arab jaman jahiliah
Dalam hubungan dengan upaya memahami islam, akal memiliki fungsi yaitu sebagai berikut:
1. Sebagai alat yang strategis untuk mengungkap dan mengetahui kebenaran yang terkandung dalam Al-Qur’an dan Sunnah Rosul, dimana keduanya adalah sumber utama ajaran islam.
2. Merupakan potensi dan modal yang melekat pada diri manusia untuk mengetahui maksud yang tercakup dalam pengertian Al-Qur’an dan Sunnah Rasul.
3. Sebagai alat yang dapat menangkap pesan dan semangat Al-Qur’an dan Sunnah yang dijadikan acuan dalam mengatasi dan memecahkan persoalan umat manusia dalam bentuk ijtihat.
4. Untuk menjabarkan pesan yang terkandung dalam Al-Quran dan Sunnah dalam kaitannya dengan fungsi manusia sebagai khalifah Allah, untuk mengelola dan memakmurkan bumi dan seisinya.
5. Sebagai tolak ukur akan kebenaran dan kebatilan.
6. Sebagai alat untuk mencerna berbagai hal dan cara tingkah laku yang benar.
7. Sebagai Alat penemu solusi ketika permasalahan datang.
Ada dua hal yang membedakan manusia dengan makhluk lain. Pertama, Allah SWT telah menjadikan manusia dalam bentuk yang paling baik, dibandingkan dengan bentuk makhluk lain dari berbagai macam binatang. Akan tetapi bentuk yang indah itu tidak ada gunanya, kalau tidak ada hal yang kedua, yaitu akal. Jadi, akal yang paling penting dalam pandangan Islam. Oleh karena itu Allah SWT selalu memuji orang yang berakal,[1] hal ini terdapat dalam firman Allah SWT surat Al Baqarah ayat 164
Artinya : “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati (kering)-nya dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi; sungguh (terdapat) tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan.” QS. Al Baqarah : 164
Syari'at Islam memberikan nilai dan urgensi yang amat penting dan tinggi terhadap akal manusia. Itu dapat dilihat dari point-point berikut:
· Allah SWT hanya menyampaikan kalam-Nya (firman-Nya) kepada orang-orang yang berakal, karena hanya mereka yang dapat memahami agama dan syari'at-Nya.
· Akal merupakan syarat yang harus ada dalam diri manusia untuk mendapat taklif (beban kewajiban) dari Allah SWT. Hukum-hukum syari'at tidak berlaku bagi mereka yang tidak mempunyai akal. Dan diantaranya yang tidak menerima taklif itu adalah orang gila karena kehilangan akalnya.
· Allah SWT mencela orang yang tidak menggunakan akalnya. Misalnya celaan Allah SWT terhadap ahli neraka yang tidak menggunakan akalnya
· Penyebutan begitu banyak proses dan aktivitas kepemikiran dalam Al-Qur'an, seperti tadabbur, tafakkur, ta'aquul dan lainnya. Seperti kalimat "La'allakum tafakkarun" (mudah-mudahan kalian berfikir) atau "Afalaa Ta'qiluun" (apakah kalian tidak berakal), atau "Afalaa Yatadabbarunal Qur'an" (apakah mereka tidak merenungi isi kandungan Al-Qur'an) dan lainnya.
· Al-Qur'an banyak menggunakan penalaran rasional.
· Islam mencela taqlid yang membatasi dan melumpuhkan fingsi akal.
B. Wahyu dan Fungsinya
Wahyu sendiri berasal dari kata Arab al-wahy, dan al-wahy adalah kata asli Arab dan bukan kata pinjaman dari bahasa asing. Kata itu berarti suara, api dan kecepatan. Di samping itu ia juga mengandung arti bisikan, isyarat, tulisan dan kitab. Al-Wahy selanjutnya mengandung arti pemberitahuan secara tersembunyi dan dengan cepat. Tetapi kata itu lebih dikenal dalam arti “apa yang disampaikan Tuhan kepada nabi-nabi”.
Dalam kata wahyu dengan demikian terkandung arti penyampaian sabda Tuhan kepada orang pilihanNya agar diteruskan kepada umat manusia dalam perjalanan hidupnya baik di dunia ini maupun di akhirat nanti. Dalam Islam wahyu atau sabda Tuhan yang disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW terkumpul semuanya dalam Al-Quran[2]
Dalam al-Quran tercantum ada 15 bentuk kata yang berasal dari akar kata wayu, yaitu awhā, awhaitu, awhaina, nūhi, nūhihi, nuhiha, layūhuna, yūhi, fayūhiya, ūhiya, yūha, yūhā, wahyun, wahyin, wahyan, wahyina, wahyuhu. Mengenai pengertian wahyu dari aspek bahasa yang dikemukakan para ulama dapat disepadankan dengan kalimat antara lain ;
a. Ilham sebagai bawaan dasar manusia, dan ilham berupa naluri pada binatang.
b. Isyarat yang cepat melalui rumus dan kode, seperti isyarat Zakariah yang diceritakan dalam Al-Quran.
c. Bisikan dan tipu daya setan untuk menjadikan yang buruk kelihatan indah dalam diri manusia.
d. Apa yang disampaikan Allah kepada para malaikatnya berupa suatu perintah untuk dikerjakan.
Jadi, pengertian wahyu secara etimologi adalah pemberitahuan secara tersembunyi dan cepat yang khusus ditujukan kepada orang yang diberitahu tanpa diketahui orang lain. Pengertian wahyu secara terminologi adalah firman (petunjuk) Allah yang disampaikan kepada para nabi dan awliya.
TM. Hasbi Ash-Shiddieqy mendefinisikan bahwa wahyu secara terminologi adalah nama bagi sesuatu yang dituangkan dengan cara cepat dari Allah ke dalam dada nabi-nabi-Nya, sebgaimana dipergunakan juga untuk lafaz Al-Quran. Wahyu yang dimaksud di sini adalah khusus untuk nabi, sedangkan ilham adalah khusus selain nabi. Jadi, beda antara wahyu dengan ilham adalah bahwa ilham itu intuisi yang diyakini jiwa sehingga terdorong untuk mengikuti apa yang diminta, tanpa mengetahui dari mana datangnya. Hal seperti itu serupa dengan perasaan lapar, haus, sedih dan senang
Karakteristik Wahyu
a. Wahyu baik berupa Al-qur’an dan Hadits bersumber dari tuhan, Pribadi nabi Muhammad yang menyampaikan wahyu ini, memainkan peranan yang sangat penting dalam turunnya wahyu.
b. Wahyu mmerupakan perintah yang berlaku umum atas seluruh umat manusia, tanpa mengenal ruang dan waktu, baik perintah itu disampaikan dalam bentuk umum atau khusus.
c. Wahyu itu adalah nash-nash yang berupa bahasa arab dengan gaya ungkap dan gaya bahasa yang berlaku.
d. Apa yang dibawa oleh wahyu tidak ada yang bertentangan dengan akal, bahkan ia sejalan dengan prinsip-prinsip akal.
e. Wahyu itu merupakan satu kesatuan yang lengkap, tidak terpisah-pisah.
f. Wahyu itu menegakkan hukum menurut kategori perbuatan manusia. baik perintah maupun larangan.
g. Sesungguhnya wahyu yang berupa al-qur’an dan as-sunnah turun secara berangsur-angsur dalam rentang waktu yang cukup panjang.
Menurut Mu’tazilah, segala pengetahuan dapat diperoleh dengan perantara akal, kewajiban dapat diketahui dengan pemikiran yang mendalam. Sebelum turunnya wahyu, manusia telah berkewajiban berterimakasih pada Allah, berbuat baik dan menjauhi yang munkar. Semua hal ini (berterimakasih, berbuat baik dan menjauhi yang buruk) dapat diketahui dengan akal.
Polemik penting mengenai akal dan wahyu terjadi antara aliran-aliran teologi islam, terutama antara Mu’tazilah, Asy’ariyah dan Maturidiyah. Yang dipermasalahkan adalah kesanggupan akal dan fungsi wahyu terhadap dua persoalan pokok dalam agama, yaitu adanya tuhan serta kebaikan dan kejahatan, dengan permasalahan
Menurut Mu’tazilah, fungsi wahyu adalah dibawah fungsi akal. Mereka lebih memuji akal mereka dibanding dengan ayat-ayat suci dan hadits-hadits Nabi saw.
Segala sesuatu ditimbangnya lebih dahulu dengan akalnya mana yang tidak sesuai dengan akalnya dibuang, walaupun ada hadits dan Ayat Al-Qur’an yang bertalian dengan masalah itu, tetapi berlawanan dengan akalnya. Jadi jelasnya menurut kaum Mu’tazilah, fungsi akal lebih tinggi daripada wahyu
Menurut Salafiyah, fungsi wahyu jauh lebih tinggi dibandingkan dengan fungsi akal. Jalan untuk mengetahui aqidah dan hukum-hukum dalam Islam dan segala sesuatu yang bertalian dengan itu, baik yang pokok maupun yang cabang, baik aqidah itu sendiri maupun dalil-dalil pembuktiannya, tidak lain sumbernya ialah wahyu Allah SWT yakni Al-Qur’an dan juga Hadits-hadiits Nabi SAW sebagai penjelasannya. Apa yang telah ditetapkan oleh Al-Qur’an dan dijelaskan oleh Sunnah Nabi harus diterima dan tidak boleh ditolak.
Akal pikiran tidak mempunyai kekuatan untuk mentakwilkan Al-Qur’an atau mentafsirkannya ataupun menguraikannya secara rinci, keucali dalam batas-batas yang diizinkan oleh kata-kata (bahasa) yang dikuatkan pula oleh hadits-hadits. Kekuatan akal sesudah itu tidak hanya membenarkan dan tunduk kepada nash. Jadi fungsi akal pikiran tidak lain hanya menjadi saksi pembenaran dan penjelas dalil-dalil Al-Qur’an , bukan menjadi hakim yang mengadili dan menolaknya
Menurut Asy’ariyah, fungsi wahyu (Al-Qur’an) dan hadits adalah sebagai pokok, sedang fungsi akal adalah sebagai penguat Nash-nash wahyu dan hadits. Al-Asy’ari tidak dapat menjauhkan diri dari pemakaian akal dan argmentasi pikiran. Ia menentang keras terhadap mereka yang mengatakan bahwa pemakaian akal pikiran dalam soal-soal agama atau membahas soal-soal yang tidak pernah disinggung-singgung oleh Rasul adalah suatu kesalahan. Menurut Al-Asy’ari, sahabat-sahabat Nabi sendiri, sesudah nabi wafat, banyak membiarakan soal-soal baru dan meskipun begitu, mereka tidak disebut orang-orang sesat (bid’ah
Menurut Maturidiyah, fungsi wahyu dan akal adalah sejajar atau seimbang. Al-Maturidi mangakui adanya kebaikan dan keburukan terhadap pada sesuatu perbuatan itu sendiri, dan akal bisa mengetahui kebaikan dan keburukan sebagai suatu perbuatan.
C. Klasifikasi Ilmu Dalam Islam
I. Sumber dan Metode Ilmu
Kehidupan agama Islam di panggung sejarah peradaban manusia memiliki arti tersendiri, termasuk dalam bidang ilmu pengetahuan. Ilmu dalam Islam berdasarkan paham kesatupaduan yang merupakan inti wahyu Allah Swt. Tujuan dari semua ilmu dikembangkan berdasarkan Islam ialah untuk menunjukkan kesatupaduan dan saling berhubungan dari segala yang ada. Turunnya wahyu Allah SWT kepada Nabi Muhammad saw, membawa semangat baru bagi dunia ilmu pengetahuan, memecahkan kebekuan zaman. Lahirnya Islam membawa manusia kepada sumber-sumber pengetahuan lain dengan tujuan baru, yakni lahirnya tradisi intel-induktif.
Al-Qur’an menganggap ”anfas” (ego) dan ”afak” (dunia) sebagai sumber pengetahuan. Allah menumpahkan tanda-tanda-Nya dalam pengalaman batin dan juga pengalaman lahir. Ilmu dalam Islam memiliki kapasitas yang sangat luas, pengalaman batin merupakan pengembangan manusia terhadap seluruh potensi jiwa dan inteleknya. Jiwa kebudayaan Islam yang diarahkan kepada yang konkrit dan terbatas serta yang telah melahirkan metode observasi dan eksperimen bukanlah sebuah hasil kompromi dengan pikiran Yunani.
II. Keterbatasan Ilmu
Manusia diberi anugerah oleh Allah dengan alat-alat kognitif yang alami terpasang pada dirinya. Dengan alat ini manusia mengadakan observasi, eksperimentasi, dan rasionalisasi. Keterbatasan ilmu manusia tidak menghilangkan makna ayat-ayat Allah di alam semesta yang diciptakan agar manusia dapat mengenal eksistensinya. Makna ayat-ayat Allah tetap relevan mengantarkan manusia kepada Tauhid dari dahulu hingga sekarang, dari zaman batu hingga zaman komputer.
III. Ilmu-Ilmu Semu
Banyak orang yang mempelajari ilmu pengetahuan tetapi dirinya bersikap sekuler. Tak terkesan sedikitpun kecenderungan kepada Islam. Ilmu-ilmu seperti inilah yang disebut sebagai ilmu yang semu karena tidak membawa manusia kepada tujuan hakiki.
- Sikap apriori dari para pencari ilmu dengan tidak meyakini bahwa ajaran Islam benar-benar dari Allah SWT, dan berguna bagi kehidupan manusia di dunia ini.
- Terbelenggunya akal pikiran karena peniruan yang membabi buta terhadap karya-karya pendahulu (nenek moyang) mereka.
- Mengikuti persangkaan yang tidak memiliki landasan ilmiah yang kokoh, hanya bersifat spekulatif belaka.
IV. Klasifikasi Ilmu
Beberapa tipe klasifikasi telah dihasilkan dengan berbagai aspek peninjauan dan penghayatan terhadap ilmu-ilmu yang berkemban, diantaranya klasifikasi oleh Al-Kindi (801 – 873 M), Al-Farabi (870 – 950 M), Al-Ghazali (1058 – 1111 M), dan Ibn Khaldun (wafat 1406 M).
Pada dasarnya ilmu itu dibagi atas dua bagian besar, yakni ilmu-ilmu Tanziliyah yaitu ilmu-ilmu yang dikembangkan akal manusia terkait dengan nilai-nilai yang diturunkan Allah Swt baik dalam kitab-Nya maupun Hadits-hadits Rasulullah Saw, dan ilmu-ilmu Kauniyah yaitu ilmu-ilmu yang dikembangkan akal manusia karena interaksinya dengan alam. Bersumber pada Al-Qur’an dan Hadits, ilmu-ilmu Tanziliyah telah berkembang sedemikian rupa ke dalam cabang-cabang yang sangat banyak, diantaranya Ulumul Qur’an, Ulumul Hadits, Ushul Fiqh, Tarikhulanbiya, Sirah Nabawiyah, dan lain-lain. Masing-masing ilmu tersebut melahirkan ilmu-ilmu, seperti dalam Ulumul Qur’an ada ilmu Qiroat, ilmu Asbabun Nuzul, ilmu Tajwid, dan lain-lainnya.
Bersumber pada ayat-ayat Allah Swt, di alam raya ini akal manusia melahirkan banyak sekali cabang-cabang ilmu. Ilmu-ilmu yang terkait dengan benda-benda mati melahirkan ilmu kealaman, terkait dengan pribadi manusia melahirkan ilmu-ilmu kemanusiaan (humaniora), dan terkait dengan interaksi antar manusia lahir ilmu-ilmu sosial. Ilmu-ilmu kealaman melahirkan ilmu astronomi, fisika, kimia, biologi, dan lainnya. Ilmu-ilmu humaniora melahirkan psikologi, bahasa, dan lainnya.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Akal adalah daya pikir untuk memahami sesuatu atau kemampuan melihat cara-cara memahami lingkungannya.
Akal memiliki fungsi yaitu sebagai berikut:
a. Sebagai alat yang strategis untuk mengungkap dan mengetahui kebenaran yang terkandung dalam Al-Qur’an dan Sunnah Rosul, dimana keduanya adalah sumber utama ajaran islam.
b. Merupakan potensi dan modal yang melekat pada diri manusia untuk mengetahui maksud yang tercakup dalam pengertian Al-Qur’an dan Sunnah Rasul.
c. Sebagai alat yang dapat menangkap pesan dan semangat Al-Qur’an dan Sunnah yang dijadikan acuan dalam mengatasi dan memecahkan persoalan umat manusia dalam bentuk ijtihat.
d. Untuk menjabarkan pesan yang terkandung dalam Al-Quran dan Sunnah dalam kaitannya dengan fungsi manusia sebagai khalifah Allah, untuk mengelola dan memakmurkan bumi dan seisinya.
e. Sebagai tolak ukur akan kebenaran dan kebatilan.
f. Sebagai alat untuk mencerna berbagai hal dan cara tingkah laku yang benar.
g. Sebagai Alat penemu solusi ketika permasalahan dating.
Wahyu adalah pemberitahuan secara tersembunyi dan cepat yang khusus ditujukan kepada orang yang diberitahu tanpa diketahui orang lain. Fungsi wahyu menurut mu’tazilah hanya sebagai alat untuk konfirmasi dan informasi atas apa yang di dapat melaui akal.
Fungsi wahyu menurut asy’ ariyah adalah kewajiban mengetahui adanya Tuhan, mengetahui baik dan buruk, kewajiban mengerjakan yang baik dan meninggalkan yang buruk.
DAFTAR PUSTAKA
Daud Ali. Muhammad, Hukum Islam, Jakarta, PT Raja Grafindo, 2007
Nasution. Harun, Akal dan Wahyu dalam Islam, Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, 1986.
Muhammad. Ismail, Filsafat Hukum Islam, Jakarta:Bumi Aksara,1999
0 Response to "Makalah Kedudukan Akal dan Wahyu dan Klasifikasi Ilmu dalam Islam"
Post a Comment