Makalah Mashalihul Mursalah Al urf dan Man Qablana
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
Ilmu Ushul Fiqih merupakan salah satu intsrumen penting yang harus dipenuhi oleh siapapun yang ingin melakukan mekanisme ijtihad dan istinbath hukum dalam Islam. Itulah sebabnya dalam pembahasan kriteria seorang mujtahid, penguasaan akan ilmu ini dimasukkan sebagai salah satu syarat mutlaknya untuk menjaga agar proses ijtihad dan istinbath tetap berada pada koridor yang semestinya. Meskipun demikian, ada satu fakta yang tidak dapat dipungkiri bahwa penguasaan Ushul Fiqih tidaklah serta merta menjamin kesatuan hasil ijtihad dan istinbath para mujtahid. Disamping faktor eksternal Ushul Fiqih itu sendiri, seperti penentuan keshahihan suatu hadits misalnya, internal Ushul Fiqih sendiri pada sebagian masalahnya mengalami perdebatan (ikhtilaf) di kalangan para Ushuliyyin. Inilah yang kemudian dikenal dengan istilah al-Adillah (sebagian ahli Ushul menyebutnya: al-Ushul al-Mukhtalaf fiha, atau “Dalil-dalil yang diperselisihkan penggunaannya” dalam penggalian dan penyimpulan hukum.
Mashadirul Ahkam (sumber-sumber hukum) ada yang disepakati ada yang tidak. Jelasnya, ada Mashadir Ashliyah (sumber pokok) yaitu: Al-Qur’an dan Sunnah Rasul-Nya dan ada Mashadir Thabi’iyah (sumber yang dipautkan kepada sumber-sumber pokok) yang disepakati oleh jumhur fuqaha yaitu: ijma dan qiyas. Adapula yang di ikhtilafi oleh tokoh-tokoh ahli ijtihad sendiri yaitu: Istihsan, istishab, Maslahah mursalah, Urf, Saddudzari’ah, dan madzhab sahabi.
Makalah ini akan menguraikan tentang mashalihul mursalah dan Al Urf dan Syar’u Man Qablana yang mencakup pengertian, macam-macamnya, kehujjahannya, kaidah-kaidahnya, dan contoh-contoh produk hukumnya.
BAB II
PEMBAHASAN
Mashalitul Mursalah
A. Pengertian
Mashilih bentuk jama’ dari mashlahah, artinya kemaslahatan, kepentingan. Mursalah artinya terlepas. Dengan demikian mashalihul mursalah berarti kemaslahatan yang terlepas, yaitu manfaat bagi manusia atau menolak kemadharatan atas mereka. Al Khawarizmi menyatakan bahwa mashlahah ialah menjaga tujuan syara’ dengan jalan menolak mafsadat (kerusakan) atau madharat dari makhluk.
Menurut bahasa adalah mencari kemaslahatan (yang mutlak) sedangkan menurut ahli ushul fiqh adalah suatu kemaslahatan dimana Syari’ tidak mensyariatkan suatu hukum untuk merealisir kemaslahatan itu, dan tidak ada dalil yang menunjukkan atas pengakuannya atau pembatalannya atau menetapkan hukum suatu masalah yang tidak ada nashnya atau tidak ada ijma’nya, dengan berdasar pada kemaslahatan semata (yang oleh syara’tidak dijelaskan dibolehkan atau dilarang) atau bila juga sebagi menberikan hukum syara’ kepada suatu kasus yang tidak ada dalam nas atau ijma’ atas dasar memelihara kemaslahatan.
B. Pandangan Uluma Mengenai Mashalihul Mursalah
1. Pandangan Ulama Malikiyah
Ulama Malikiyah dan Hanabilah menerima Maslahah Mursalah sebagai dalil dalam menetapkan hukum, bahkan mereka dianggap sebagai ulama fiqh yang paling banyak dan luas penerapanya. Untuk menjadikan maslahah mursalah menjadi dalil, ulama Malikiyah dan Hanabilah bertumpu pada;
Praktek para sahabat yang telah menggunakan maslahah mursalah diantaranya, saat sahabat mengumpulkan al-Quran kedalam beberapa mushaf. Padahal hal ini tidak dilakukan pada masa Rosululloh SAW. Alasan yang mendorong mereka tak lain untuk menjaga al-Quran dari kepunahan karna banyak hafidz yang meninggal. Selain itu, merupakan bukti nyata dari firman Allah, “Sesungguhnya kamilah yang menurunkan alquran, dan sesungguhnya kami benar-benar memeliharanya”(Q.S: Al-hijr).
Adanya maslahath berarti sama dengan merealisasikan maqosid as-syari’. Oleh karena itu, wajib menggunakan dalil maslahah karena merupakan sumber hukum pokok yang berdiri sendiri.
Seandainya maslahah tidak diambil pada setiap kasus yang jelas mengandung maslahat, maka orang-orang mualaf akan mengalami kesulitan, Allah berfirman:
Artinya; “Dia tidak sekali-kali menjadikan kamu dalam agama suatu kesempitan” (Q.S: Al Hajj 78).
Demikianlah alasan-alasan yang dikemukakan oleh imam malik dan hanabilah. Sedangkan dari golongan syafi’I dan hanafi tidak mengagap maslahah mursalah sebagai sumber hukum yang berdiri sendiri dan memasukannya kedalam bab qiyas. Para penolak legalitas maslahah mursalah mendasarkan pendapatnya dengan beberapa alasan:
Demikianlah alasan-alasan yang dikemukakan oleh imam malik dan hanabilah. Sedangkan dari golongan syafi’I dan hanafi tidak mengagap maslahah mursalah sebagai sumber hukum yang berdiri sendiri dan memasukannya kedalam bab qiyas. Para penolak legalitas maslahah mursalah mendasarkan pendapatnya dengan beberapa alasan:
- Penerapan maslahah mursalah berpotensi mengurangi kesakralitasan hukum-hukum syariat.
- Posisi maslahah mursalah berada dalam pertengahan penolakan syara’ dan pengukuhannya pada sebagian yang lain.
- Penerapan maslahah mursalah akan merusak unitas dan universalitas syariat islam.
- Jumhur ulama menerima maslahah mursalah sebagai metode ishtimbath hukum dengan alasan:
- Hasil induksi terhadap ayat atau hadits menunjukkan bahwa setiap hukum mengandung kemaslahatan bagi umat manusia.
- Kemaslahatan manusia akan senantiasa dipengaruhi perkembangan tempat, zaman dan lingkungan mereka sendiri. Apabila syariat islam terbatas pada hukum-hukum yang ada saja, akan membawa kesulitan.
2. Pandangan Ulama Al- Tuhvi
Najm al-Din al-Thufi (675-716 H / 1276-1316 M), sebagaimana dikutip Musthafa Zaid berpendapat bahwa menurut al-Thufi, al-mashlahah al-mursalah merupakan dalil yang bersifat mandiri dan menempati posisi yang kuat dalam menetapkan hukum syara', baik mashlahah itu mendapat dukungan dari syara' maupun tidak. Karenanya ia tidak membagi mashlahah tersebut, sebagaimana yang dikemukakan para ahli ushul fiqh di atas.
Di antara pemikiran at-Thufi yang amat bertentangan dengan arus umum mayoritas ulama ushul fiqh tentang konsepmashlahah bertolak dari hadis Rasulullah yang berbunyi :
Tidak boleh memudaratkan dan tidak boleh (pula) dimudaratkan (orang lain)
Menurutnya, inti dari seluruh ajaran Islam yang termuat dalam nash adalah mashlahah bagi umat manusia. Karenanya, seluruh bentuk kemashlahatan disyari'atkan dan kemaslahatan itu tidak perlu mendapatkan dukungan dari nash, baik oleh nash tertentu maupun oleh makna yang terkandung dalam oleh sejumlah nash. Oleh karena itu, mashlahah menurutnya merupakan dalil yang paling kuat yang secara mandiri dapat dijadikan alasan dalam menentukan hukum syara'.
Menurut at-Tufi maslahat tidak berlaku pada bidang ibadah, muqaddarad dan sejenisnya. At-Tufi membangun pendapatnya di atas, atas empat dasar sebagai berikut;
1. akal manusia dapat menemukan dan membedakan mana maslahatdan mana mafsadat. Karena akal manusia dapat membedakan mana maslahat danmana yang mafsadat maka;
2. maslahat menurut at-Tufi merupakan dalil yang berdiri sendiri, terlepas dari nass.
3. lapangan operasional maslahat, hanya dalam bidang muamalah dan adat, bukan pada bidang ibadah dan muqoddarod.
4. maslahat merupakan dalil hukum Islam yang paling kuat, karena itu menurut at-Tufi, maslahat bukan hanya hujjah ketika tidak ada nass dan ijma’ melainkan harus pula didahulukan atas nass dan ijma’ ketika terjadi pertentangan di antara keduanya. Menurut Ahmad Munif Surtmaputra, engutamaan maslahat atas nass dan ijma’ tersebut dilakukan oleh at-Tufi dengan jalan takhsis dan bayan, bukan dengan jalan meninggalkan nass, sebagaimana mendahulukan as-Sunnah atas al-Qur’an dengan jalan bayan.
C. Kedudukan sebagai sumber hukum
Para ulama berbeda pendapat mengenai kedudukan mashalihul mursalah sebagai sumber hukum.
1. ulama’ menolaknya sebagai sumber hukum, dengan alasan:
a. Bahwa dengan nas-nas dan qiyas yang dibenarkan,syariat senantiasa memperhatikan kemaslahatan umat manusia. Tak ada satupun kemaslahatan manusia yang tidak diperhatikan oleh syariat melalui petunjuknya.
b. Pembinaan hukum islam yang semata-mata didasarkan kepada maslahat berarti membuka pintu bagi keinginan hawa nafsu.
c. Akan melahirkan perbedaan hukum akibat berbedaan suatu wilayah atau negara.
2. Imam Malik membolehkan berpegang kepadanya secara mutlak. Namun menurut imam Syafi’i boleh berpegang pada mashalihul mursalah apabial sesuai dengan dalil kully atau dalil juz’iy dari syara.
Pendapat keduanya berdasarkan :
a. Kemashlahatan manusia selalu berubah-ubah dan tidak ada habis-habisnya. Jika penggunaan hukum dibatasi pada maslahat-maslahat yang ada petunjuknya dari syari’ (Allah), tentu banyak kemaslahatan yang tidak ada status hukumnya pada masa dan tempat yang berbeda-beda.
b. Para Sahabat dan Tabi’in serta para mujtahid banyak menetapkan hukum untuk mewujudkan maslahatyang tidak ada petunjuknya dari syari’. Misalnya membuat penjara, mencetak uang, mengumpulkan dan membukukan Al-Qur’an dan sebagainya.
Contoh Mashalilhul Mursalah
Diantara contoh mashalihul mursalah tidak ada petunjuknya dari syara’ yang ditetapkan oleh para sahabat, tabi’in, dan para Mujtahid adalah membuat penjara, mencetak uang, mengumpulkan dan membukukan ayat-ayat Al-Qur’an. Ditetapkannya pajak penghasilan, serta surat nikah sebagai bukti sahnya perkawinan dan lain-lain
D. Kehujjahan Mashalihul Mursalah
Hukum Islam diciptakan adalah untuk menuju kemaslahatan manusia pada semua tempat dan waktu. Jumhur ulama menolak mashalihul mursalah sebagai sumber hukum dengan alasan berikut ini :
1. Dengan nash-nash yang ada dan cara qiyas yang benar, syara’ senantiasa mampu merespons masalah yang muncul demi kemaslahatan manusia.
2. Bila menetapkan hukum hanya berdasarkan kemaslahatan berarti dapat membuka pintu keinginan hawa nafsu.
Sementara imam syafi’i membolehkan berpegang mashalihul mursalah dengan syarat harus sesuai dengan dalil kulli atau dalil juz’i dan syara’. Sedangkan Imam Malik membolehkan secara mutlak, dengan alasan sebagi berikut :
1. Bahwa setiap hukum selalu mengandung kemaslahatan bagi manusia. Rasul diutus juga untuk menjadi rahmat bagi setiap alam. Kemaslahatan manusia ,akan senantiasa dipengaruhi perkembangan tempat, zaman, dan lingkungan mereka sendiri. Apabila syari’at Islam terbatas pada hukum-hukum yang ada saja, akan membawa kesulitan manusia.
2. Para sahabat, tabi'in, dan para mujtahid banyak yang menetapkan hukum untuk mewujudkan kemaslahatan yang tidak ada petunjuk dari Syara'.
AL’URF
A. Pengertian al-'Urf
Menurut bahasa, berasal dari kata ‘arofa-ya’rufu-ma’rufan yang berarti “yang baik”. Sedangkan menurut istilah adalah apa yang dikenal oleh manusia dan menjadi tradisinya; baik ucapan, perbuatan ataupun pantangan-pantangan. Atau dalam istilah lain biasa disebut adat(kebiasaan).
Sebenarnya, para ulama’ ushul fiqh membedakan antara adat dengan Urf dalam membahas kedudukannya sebagai salah satu dalil untuk menetapkan hukum syara’.
Adat didefinisikan dengan: “sesuatu yang dikerjakan secara berulang-ulang tanpa adanya hubungan yang rasional.”
Adat didefinisikan dengan: “sesuatu yang dikerjakan secara berulang-ulang tanpa adanya hubungan yang rasional.”
Dari pengertian diatas menunjukan bahwa adat memiliki cakupan persoalan yang sangat luas yang menyangkut permasalahan pribadi, seperti kebiasaan orang dalam tidur, makan, minum dan lain sebagainya atau bahkan yang menyangkut persoalan orang banyak yaitu sesuatu yang berkaitan dengan hasil pemikiran yang baik maupun yang buruk.
Adat juga biasa muncul dari sebab alami, seperti cepat baligh nya seseorang yang berada di iklim tropis dan di daerah yang lembab sebaliknya.
Adat juga biasa muncul dari sebab alami, seperti cepat baligh nya seseorang yang berada di iklim tropis dan di daerah yang lembab sebaliknya.
Adapun pemaknaan kata Urf menurut ulama’ ushul fiqh, adalah “kebiasaan mayoritas kaum, baik dalam perkataan atau perbuatan”.
Berdasarkan definisi tersebut, Mushthofa Ahmad al-Zarqo’(guru besar fiqh islam di Universitas ‘Amman, Jordania), mengatakan bahwa ‘Urf merupakan bagian dari adat, karena adat lebih umum. Menurutnya, suatu urf harus berlaku pada kebanyakan orang didaerah tertentu bukan dari pribadi ataupun kelompok tertentu dan urf bukanlah kebiasaan alami sebagaimana yang berlaku dalam kabanyakan adat, tetapi muncul dari suatu pemikiran dan pengalaman.
Dan yang dibahas oleh kaum ushul fiqh dalam kaitannya dengan salah satu hukum syar’i adalah urf, bukan adat.
Dan yang dibahas oleh kaum ushul fiqh dalam kaitannya dengan salah satu hukum syar’i adalah urf, bukan adat.
B. Macam-macam al-‘Urf
Al-Urf(adat) itu ada dua macam: Adat yang benar dan adat yang rusak.
Adat yang benar adalah kebiasaan yang dilakukan manusia, tidak bertentangan dengan dalil syara’, tidak menghalalkan yang haram dan tidak membatalkan yang wajib. Seperti adat meminta pekerjaan, adat seorang istri yang tidak berbulan madu kecuali telah menerima sebagian mas kawin dari suamunya, dan adat bahwa sesuatu yang diberikan pelamar(calon suami) kepada calon istri baik berupa perhiasan maupun pakaian adalah hadiah, bukan termasuk mahar.
Adapun adat yang rusak adalah kebiasaan yang dilakukan oleh manusia tetapi bertentangan dengan syara’, menghalalkan yang haram dan membatalkan yang wajib. Seperti memakan barang riba oleh lembaga perbankan yang kini sudah menjadi sesuatu yang wajar.
Adat yang benar adalah kebiasaan yang dilakukan manusia, tidak bertentangan dengan dalil syara’, tidak menghalalkan yang haram dan tidak membatalkan yang wajib. Seperti adat meminta pekerjaan, adat seorang istri yang tidak berbulan madu kecuali telah menerima sebagian mas kawin dari suamunya, dan adat bahwa sesuatu yang diberikan pelamar(calon suami) kepada calon istri baik berupa perhiasan maupun pakaian adalah hadiah, bukan termasuk mahar.
Adapun adat yang rusak adalah kebiasaan yang dilakukan oleh manusia tetapi bertentangan dengan syara’, menghalalkan yang haram dan membatalkan yang wajib. Seperti memakan barang riba oleh lembaga perbankan yang kini sudah menjadi sesuatu yang wajar.
C. Hukum al-‘Urf
Adat yang benar wajib diperhatikan dalam pembentukan hokum syara’ dan putusan perkara. Seorang Mujtahid harus memperhatikan hal ini dalam pembentukan hukumnya dan bagi hakim juga harus memperhatikan hal itu dalam setiap mengambil keputusan. Karena apa yang sudah diketahui oleh manusia adalah menjadi kebutuhan mereka, disepakati da nada kemaslahatannya. Selama ia tidak bertentangan dengan syara’ maka harus dijaga. Syar’i telah menjaga adat yang benar diantara adat orang Arab dalam pembentukan hukumnya. Seperti menetapkan kewajiban denda atas perempuan berakal, mensyaratkan adanya keseimbangan dalam perkawinan dan pembagian ahli waris.
Oleh karena itu para ulama’ berkata: Adat adalah syare’at yang dikuatkan oleh hukum. Imam Malik membentuk banyak hukum berdasarkan perbuatan penduduk Madinah. Abu Hanifah dan para muridnya berbeda dalam menetapkan hukum, tergantung pada adat mereka. Sedangkan Imam Syafi’i ketika di Mesir, mengubah sebagian hukum yang ditetapkan ketika berada di Baghdad karena perbedaan adat, oleh karena itu beliau memiliki 2 pendapat(Qaul Qodim dan Qaul Jadid).
Adapun adat yang rusak, maka tidak boleh diperhatikan, karena memperhatikan adat yang rusak berarti menentang dalil syara’ atau membatalkan hukum syara’. Bila manusia sudah biasa melakukan akad yang rusak seperti akad pada barang yang riba, atau akad yang mengandung unsur penipuan, maka kebiasaan ini sudah jelas buruk dan akan menjadi adat yang buruk apabila kita masih mengikutinya.
Hukum yang didasarkan pada adat akan berubah seiring perubahan waktu dan tempat, karena masalah baru bias berubah sebab perubahan masalah asal. Oleh karena itu dalam hal perbedaan pendapat ini para ulama’ fiqh berkata: Perbedaan itu adalah pada waktu dan masa, bukan pada dalil dan alasan.
D. Syarat-syarat al-‘Urf
Para Ulama’ Ushul fiqh menyatakan bahwa suatu urf, baru bias dijadikan sebagai salah satu dalil dalam menetapkan hukum syara’ apabila sudah memenuhi syarat berikut:
1. Urf itu bersifat secara umum. Artinya berlaku dalam mayoritas kasus yang terjadi ditengah-tengah masyarakat dan keberlakuannya dianut oleh mayoritas masyarakat tersebut
2. Urf yang baru dating, tidak dapat dijadikan sandaran hukum terhadap kasus yang telah lama
3. Urf tidak bertentangan dengan Nash, sehingga hukum yang dikandung nash itu bisa diterapkan.
E. Pertentangan Urf dengan dalil syara’
Urf yang berlaku di tengah-tengah msyarakat adakalanya bertentangan dengan nash (ayat atau hadis) dan adakalanya berteentangan dengan dalil syara’ lainnya. Dalam persoalan pertentangan ‘urf dengan nash, para ahli ushul fiqh merincinya sebagai berikut:
1. Pertentangan urf dengan nash yang bersifat khusus/rinci.
1. Pertentangan urf dengan nash yang bersifat khusus/rinci.
Apabila pertentangan ‘urf dengan nash yang bersifat khusus menyebabkan tidak berfungsinya huklum yang dikandung nash, maka ‘urf tidak dapat diterima. Misalnya, kebiasaan di zaman jahiliyyah dalam megadopsi anak, dimana anak yang di adopsi itu statusnya sama dengan anak kandung, sehingga mereka mendapat warisan apabila ayah angkatnya wafat. ‘urf seperti ini tidak berlaku dan tidak dapat diterima.
2. Pertentangan urf yang bersifat umum
Menurut Musthafa ahmad Al-Zarqa’, apabila ‘urf telah ada ketika datangnya nash yang bersifat umum, maka harus dibedakan antara ‘urf al-lafzhi dengan ‘urf al-‘amali, apabila ‘urf tersebut adalah ‘urf al-lafzhi, maka ‘urf tersebut biasa diterima. Sehingga nash yang umum itu dikhususkan sebatas ‘urf al-lafzhi yang telah berlaku tersebut, dengan syarat tidaka ada indikator yang menunjukkan nash umum itu tidak dapat di khususkan olehh ‘urf. Misalnya: kata-kata shalat, puasa, haji, dan jual beli, diartikan dengan makna ‘urf, kecuali ada indikator yang menunjukkan bahwa kata-kata itu dimaksudkan sesuai dengan arti etimologisnya.
3. ‘Urf yang terbentuk belakangan dari nash umum yang bertentangan dengan ‘urf tersebut.
Apabila suatu ‘urf terbentuk setelah datangnya nash yang bersifat umum dan antara keduanya terjadi pertentangan, maka seluruh ulama fiqih sepakat menyatakan ‘urf seperti ini, baik yang bersifat lafzhi (ucapan ) maupun yang bersifat ‘amali (praktik), sekalipun ‘urf tersebut bersifat umum, tidak dapat dijadikan dalil dalam menetapkan hokum syara’, karena keberadaan ‘urf ini muncul ketika nash syara’ telah menentukan hukum secara umum
Apabila suatu ‘urf terbentuk setelah datangnya nash yang bersifat umum dan antara keduanya terjadi pertentangan, maka seluruh ulama fiqih sepakat menyatakan ‘urf seperti ini, baik yang bersifat lafzhi (ucapan ) maupun yang bersifat ‘amali (praktik), sekalipun ‘urf tersebut bersifat umum, tidak dapat dijadikan dalil dalam menetapkan hokum syara’, karena keberadaan ‘urf ini muncul ketika nash syara’ telah menentukan hukum secara umum
F. Hikmah Mempelajari al-Urf
Adapun beberapa hikmah yang dapat kita petik dari mempelajari al-urf:
· Memberikan pengetahuan yang luas dan beragam mengenai berbagai adat dan kebiasaan orang islam di daerah-daerah lain
· Untuk bisa saling menghargai terhadap sesama umat islam, walaupun memiliki adat yang berbeda
· Tidak gampang fanatic dan menyalahkan terhadap realita yang sedang terjadi
· Dapat menjaga ukhuwah islam antar sesame muslim dengan damai dan tentram
SYAR’U MAN QABLANA
A. Definisi dan dasar hukum Syar’u Man Qoblana
Syar’u Man Qablana adalah setiap hukum yang disyari’atkan Allah pada umat-umat terdahulu melalui pelantara setiap rasul.
Ada juga yang mendefinisikan Syariat yang Allah turunkan pada tiap Nabinya untuk didakwahkan pada masing-masing umatnya yang dibenarkan dengan oleh Al-Qur’an dan Sunnah, namun kesemuanya berujung bahwa Syar’u Man Qablana adalah syariat yang ada sebelum nabi muhammad S.A.W.
Pada asas syari'at yang diperuntukkan Allah SWT bagi umat-umat dahulu mempunyai asas yang sama dengan syari'at yang diperuntukkan bagi umat Nabi Muhammad SAW, sebagaimana dinyatakan pada firman Allah SWT:
Artinya:
"Dia (Allah) telah menerangkan kepadamu sebagian (urusan) agama, apa yang Ia wajibkan kepada Nuh dan yang Kami wajibkan kepadamu dan apa yang Kami wajibkan kepada Ibrahim, Musa dan lsa, (yaitu) hendaklah kamu tetap menegakkan (urusan) agama itu dan janganlah kamu bercerai berai padanya..." (asy-Syuûra: 13)
Diantara asas yang sama itu ialah yang berhubungan dengan konsepsi ketuhanan, tentang hari akhirat, tentang qadla dan qadar, tentang janji dan ancaman Allah dan sebagainya. Mengenai perinciannya atau detailnya ada yang sama dan ada yang berbeda, hal ini disesuaikan dengan keadaan, masa dan tempat.
Dalam pada itu ada pula syari'at umat yang dahulu itu sama namanya, tetapi berbeda pelaksanaannya dengan syari'at Nabi Muhammad SAW, seperti puasa, hukuman qishash dan sebagainya.
B. Ibadah Nabi Muhammad Sebelum Diutus
Terkait dengan ketika nabi belum mendapat kitab Al-Quran, beliau beribadah mengikut syari’at siapa, maka ulama berbeda pendapat, ada yang mengatakan bahwa beliau sebelum diutus mengikuti mengikuti syari’at nabi sebelumnya, yaitu sebagian kalangan Malikiyah, penetap ini masih berbeda juga dalam menentukan syari’at yang diikuti beliau tersebut.
a. Syari’at Nabi Adam AS sebagai syariat pertama.
b. Syari’at Nabi Nuh AS, dengan landasan firman Allah :
(شرع لكم من الدين ما وصى به نوحا)
c. Syari’at Nabi Ibrahim AS dengan dua firman Allah :
“إن أولى الناس أولى الناس بابراهيم للذين اتبعوه وهذا النبي" أن اتبع ملة إبراهيم حنيفا
d. Syari’at Nabi Musa AS.
e. Syari’at Nabi Isa AS, dengan alasan bahwa Nabi Isa adalah nabi yang jarak terutusnya paling dekat dengan Nabi Muhammad.
Dan dari sekian pendapat di atas Imam Syaukani mengatakan bahwa yang lebih mendekati kebenaran adalah yang mengatakan bahwa Nabi SAW megikuti syariat Nabi Ibrahim AS, ada juga yang mengatakan bahwa sebelum terutus beliau tidak mengikuti syariat siapapun, ini menurut sebagian kalangan Hanafiyah, Hanabbilah, Ibnu Hajib dan al-Baidhowi. Dan ada sebagian lain yang tidak mau komentar, seperti al-Amudi, Qadi abdul Jabbar dan al-Ghazali, mereka berpandangan bahwa beliau memang bersyariat, namun mungkin tanpa mengikuti syariat Nabi sebelumnya. Al-Qodhy.mengatakan bahwa ulama Mutakallimin telah sampai pada sebuah kesimpulan bahwa Nabi Muhammad SAW sebelum terutus tidak mengikuti syariat siapapun. Golongan Mu’tazilah juga mengatakan bahwa secara akal dapat tergambar dibenak kita bahwa Nabi mengikuti syariat nabi-nabi sebelumnya namun mustahil secara kenyataan.
C. Hakikat Syar’u man Qablana
Istilah syar’u man qablana lebih berorientasi untuk menunjukkan adanya syari’at-syari’at sebelum Islam sebagai agama ketika dilahirkan. Imam al-Ghazali mengatakan bahwa hakikat syar’u man qablana pada intinya adalah adanya upaya dalam memahami syari’at-syari'at terdahulu sebelum syari’at Nabi Muhammad (Islam). Khallaf menyebutkan bahwa sya’u man qablana adalah berhubungan dengan “mâ syara‘aha Allah liman sabaqana min al-umam” (syari’at yang telah diturunkan Tuhan kepada orang-orang yang telah mendahului kita (hukum-hukum para Nabi terdahulu).
Berkaitan dengan posisi syar’u man qablana, Zuhaili menyatakan bahwa dengan diutusnya Muhammad sebagai nabi pada tahun 611 Masehi, maka sejak itu pula bahwa syari’at Nabi Muhammad adalah penutup segala syari’at yang diturunkan Tuhan. Kendati demikian, Zuhaili juga mengatakan bahwa keadaan seperti itu masih menimbulkan berbagai pertanyaan di kalangan para ahli usul al-fiqh, khususnya berkaitan dengan keterikatan Nabi Muhammad secara pribadi dengan syari’at sebelumnya dan sesudah ia menjadi Nabi, termasuk pula di dalamnya pengikut-pengikut Nabi Muhammad sampai sekarang.
D. Macam-Macam Syar'u Man Qablana
Sesuai dengan ayat di atas, kemudian dihubungkan antara syari'at Nabi Muhammad SAW dengan syari'at umat-umat sebelum kita, maka ada tiga macam bentuknya, yaitu:
a. Syari'at yang diperuntukkan bagi umat-umat yang sebelum kita; tetapi aI-Qur'an dan Hadits tidak menyinggungnya, baik membatalkannya atau menyatakan berlaku pula bagi umat Nabi Muhammad SAW.
b. Syari'at yang diperuntukkan bagi umat-umat yang sebelum kita, kemudian dinyatakan tidak berlaku bagi umat Nabi Muhammad SAW. Contoh : Pada syari’at nabi Musa As. Pakaian yang terkena najis tidak suci. Kecuali dipotong apa yang kena najis itu
c. Syari'at yang diperuntukkan bagi umat-umat yang sebelum kita, kemudian al-Qur'an dan
Hadits menerangkannya kepada kita.Contoh : Perintah menjalankan puasa
Mengenai bentuk ketiga, yaitu syari'at yang diperuntukkan bagi umat-umat yang sebelum kita, kemudian diterangkan kepada kita al-Qur'an dan Hadits, para ulama berbeda pendapat. Sebagian ulama Hanafiyah, sebagian ulama Malikiyah, sebagian ulama Syafi'iyah dan sebagian ulama Hanabilah berpendapat bahwa syari'at itu berlaku pula bagi umat Nabi Muhammad SAW. Berdasarkan inilah golongan Nafifiyah berpendapat bahwa membunuh orang dzimmi sama hukumnya dengan membunuh orang Islam. Mereka menetapkan hukum itu berdasar ayat 45 Surat aI-Mâidah. Mengenai pendapat golongan lain ialah menurut mereka dengan adanya syari'at Nabi Muhammad SAW, maka syari'at yang sebelumnya dinyatakan mansukh/tidak berlaku lagi hukumnya.
Mengenai bentuk kedua, para ulama tidak menjadikannya sebagai dasar hujjah, sedang bentuk pertama ada ulama yang menjadikannya sebagai dasar hujjah, selama tidak bertentangan dengan syari'at Nabi Muhammad SAW.
E. Kontribusi Syar’u man Qablana di Masa Identifikasi Hukum Islam
Sejak syar’u man qablana diangkat ke permukaan untuk selanjutnya dijadikan sebagai metode, maka sebagai sebuah pembatas (takhsis) sekaligus nasikh terhadap syari’at-syari’at terdahulu kontribusi syar’u man qablana bukan merupakan sebuah kontribusi yang dapat dipandang sebelah mata. Justru dengan adanya metode istinbat seperti ini, umat Islam, terutama pada masa pengidentifikasian hukum Islam masa itu bahkan masyarakat muslim sekarang memperoleh kepastian hukum dengan cara mengindentifikasi syari’at-syari’at yang dibatalkan dan syari’at-syari’at yang masih berlaku.
Identifikasi hukum tersebut bisa dibaca dalam ayat-ayat Alqur’an yang secara tekstual menyebut syari’at umat terdahulu, kemudian hal ini dipahami kembali oleh para ahli ushul al-fiqh sebagai bukti peran dan kiprah syar’u man qablana dalam percaturan hukum Islam kala itu. Misalnya Q.S. al-An’am ayat 146 yang sebagai berikut :
“Dan kepada orang-orang Yahudi, Kami haramkan segala binatang yang berkuku. Sedangkan dari sapi dan domba, Kami haramkan atas mereka lemak dari kedua binatang itu, selain lemak yang melekat di punggung keduanya atau yang di perut besar dan usus atau yang bercampur dengan tulang. Demikianlah Kami hukum mereka disebabkan kedurhakaan mereka, dan sesungguhnya Kami adalah Maha Benar”.
Contoh lain sebagaimana disebutkan dalam Yahya yang menjelaskan bahwa pada zaman Nabi Musa cara menebus dosa (bertobat) atas kesalahan yang telah dilakukan adalah dengan bunuh diri. Setelah Islam datang, syari’at tersebut kemudian tidak berlaku lagi (mansukh) dengan turunnya ayat pada Q.S. hud ayat
Berdasarkan pesan dalam ayat di atas, umat Muhammad yang ingin menebus dosa cukup berhenti melakukan perbuatan yang dipandang memiliki konsekuensi dosa dan menyesali perbuatan yang telah dilakukan dengan dibuktikan secara nyata adanya tekad yang terealisasi secara empiris bahwa perbuatan dosa tersebut tidak diulangi lagi. Begitu juga dengan kotoran yang dipandang najis apabila mengenai salah satu pakaian. Dalam syari’at terdahulu pakaian tersebut harus dipotong sesuai dengan bagian pakaian yang kena najis. Namun setelah Islam lahir, kewajiban seperti ini tidak ditetapkan kepada Nabi Muhammad dan umatnya. Kenyataan ini dapat dilihat pada Q.S. al-muddatssir ayat 4
Berdasarkan ayat-ayat Al-qur’an di atas, para ahli ushul al-fiqhdapat menentukan dengan mudah bahwa syar’u man qablana semacam itu sudah tidak berlaku lagi karena telah dibatalkan atau diganti (mansukh) oleh ayat Al-qur’an sendiri yang nota bene merupakan syari’at Nabi Muhammad.
Selain itu, terdapat pula kontribusi Syar’u man Qablana dalam bentuk lain yang tampak berlawanan dengan bentuk di atas. Pada bentuk itu, syari’at Islam membatalkan syari’at terdahulu, namun pada bentuk kedua ini justru Nabi Muhammad dan umatnya mewarisi dan melanjutkan apa yang telah ditetapkan oleh umat terdahulu. Di antara warisan hukum itu dapat dilihat pada Q.S. al-baqoroh ayat 183
Warisan lain yang ditetapkan untuk umat Nabi Muhammad adalah perintah berkurban yang sebelumnya pernah diwajibkan kepada Nabi Ibrahim. Ketentuan itu tetap diberlakukan untuk Muhammad dan umatnya berdasarkan pernyataan Nabi Muhammad sendiri melalui sabdanya:
“Berkurbanlah karena yang demikian itu adalah sunnah bapakmu, yaitu Ibrahim”.
Kedua persoalan hukum di atas tampak mudah diselesaikan dengan metode syar’u man qablana, bahkan tampaknya tanpa adanya metode tersebut dimungkinkan hukum-hukum di atas dapat diidentifikasi karena adanya penjelasan kongkrit yang secara eksplisit sudah dijelaskankan Tuhan melalui ayat-ayat Alqur’an. Kendati demikian, pernyataan ini bukan berarti bahwa syar’u man qablana telah kehilangan peran dalam metodologi usul al-fiqh, tetapi justru pentingnya syar’u man qablana adalah untuk menentukan dan menyelesaikan kemulut persolan yang dihadapi oleh para ahli usul al-fiqh, terutama yang berkaitan dengan adanya dalil normatif yang diterima Nabi Muhammad seraya menceritakan sebuah peraturan tentang kewajiban umat terdahulu, namun tidak ditemukan ketentuan yang menghendaki peraturan tersebut tetap diberlakukan atau dibatalkan, baik dari dalil itu sendiri atau pada dalil lain. Misalnya Q.S.al-Maidah ayat 32 yang menyebutkan:
Oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa barang siapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya. Sesungguhnya telah datang kepada mereka rasul-rasul Kami dengan (membawa) keterangan-keterangan yang jelas, kemudian banyak di antara mereka sesudah itu sungguh-sungguh melampaui batas dalam berbuat kerusakan di muka bumi.
Begitu juga pada Q.S. al-Maidah ayat 45 yang artinya sebagai berikut:
Dan Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka-luka (pun) ada kisasnya. Barang siapa yang melepaskan (hak kisas)-nya, maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya. Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim.
Pada kedua ayat di atas terlihat dengan jelas bahwa Tuhan menceritakan adanya kewajiban kepada Bani Israil hukum yang tercatat dalam Taurat. Namun tidak menjelaskan apakah ketentuan itu berlaku juga terhadap umat Islam atau tidak. Tidak adanya kejelasan pada ayat itu menimbulkan berbagai pertanyaan di kalangan para ahliusul al-fiqh, apakah hal tersebut diberlakukan juga untuk umat Islam atau tidak mengingat ketentuan itu terdapat di dalam Alqur’an yangnota bene merupakan kitab suci umat Islam.
Berkaitan dengan masalah tersebut, Bazdawi mengatakan bahwa syari’at terdahulu yang tidak ditemukan ketegasan pengamalannya bagi umat Islam adalah tidak berlaku bagi umat Islam sampai ditemukannya dalil yang mewajibkannya. Namun yang populer dari pendapat Bazdawi adalah tentang anggapannya yang menyatakan bahwa ketentuan itu merupakan syari’at karena ia dituliskan kembali dalam Alqur’an, sehingga ia telah menjadi syari’at Muhammad. Hal ini ditanggapi berbeda oleh Hazm yang mengatakan bahwa bentuk syari’at seperti itu hanya merupakan nass atau teks semata yang tidak perlu diamalkan
Sedangkan Syairazi mengatakan bahwa perbedaan tersebut tampak semakin berkembang dengan adanya 3 kelompok yang berkiprah memberikan pendapat yakni: 1) bukan sebagai syari’at umat Islam, 2) sebagai syari’at Islam, kecuali adanya dalil yang membatalkannya, 3) semua syari’at terdahulu, baik syari’at Ibrahim, syari’at Musa (kecuali yang telah di-naskh oleh syari’at Isa), dan syari’at Isa sendiri adalah syari’at Islam.
Terhadap perbedaan pendapat ini, Asnawi menjelaskan bahwa dalam persoalan tersebut telah ada kesepakatan mayoritas ahli ushul al-fiqh, termasuk di dalam dalamnya Fakhruddin ar-Razi, Saifuddin al-Amidi, Baidawi, dan sebagian ulama Syafi’iyyah yang menyatakan bahwa syari’at umat terdahulu yang tidak ada kepastian untuk umat Muhammad, tidak dipandang sebagai syari’at Islam. Hal yang senada juga terdapat dalam Khallaf (1978: 94) yang mengatakan bahwa syari’at Islam me-naskh syari’at terdahulu, kecuali adanya penegasan bahwa syari’at tersebut berlaku juga bagi umat Islam. Pendapat yang serupa juga dapat ditemukan dalam Zuhaili dengan menambahkan bahwa sebagian ahli ushul al-fiqh mazhab Maliki dan mayoritas ulama ilmu kalam menyatakan penolakannya terhadap syari’at tersebut.
Selain itu, Khallaf juga menceritakan bahwa mayoritas ahli ushul al-fiqh mazhab Hanafi, sebagian ahli ushul al-fiqh mazhab Maliki dan Syafi’i, berpendapat bahwa syari’at yang demikian itu diakui dan termasuk dalam syari’at Islam serta kewajiban umat Islam untuk mengikuti dan mengimplementasikan syari’at tersebut selama tidak adanya dalil normatif yang secara jelas me-nasakh-nya. Karena, demikian diceritakan Khallaf, syari’at yang diperdebatkan tersebut adalah hukum-hukum Tuhan yang telah disyari’atkan melalui para rasul-Nya dan Muhammad juga termasuk dalam perintah tersebut. Selain itu, salah satu alasan Alqur’an itu diwahyukan adalah untuk membenarkan adanya kitab-kitab yang diturunkan pada umat sebelumnya, seperti Taurat dan Injil. Oleh karena itu apabila tidak ada ketentuan Alqur’an yang me-nasakh syari’at terdahulu, berarti ia diakui di dalam syari’at Islam.
Apabila mengkaji kembali pemikiran para ahli ushul al-fiqh di atas, maka sebagai pemeluk Islam yang hidup di zaman sekarang, tentunya memiliki pilihan di antara dua pilihan sebagai salah satu langkah ittiba’ atau memiliki pemikiran lain yang juga tidak terlepas dari dua macam pemikiran di atas. Namun apabila dihadapkan pada pilihan sebagaimana yang disebutkan di atas dan diharuskan untuk memilih, penulis lebih cenderung mengikuti pemikiran para ahli ushul al-fiqh yang pertama, yakni tidak menerima syari’at-syari’at terdahulu, khususnya yang berkaitan dengan tidak adanya penegasan untuk diikuti. Bahkan di sini penulis juga lebih cenderung melihat syari’at Islam terdahulu yang disebutkan dalam Al-qur’an (sebagaimana yang dicontohkan pada Q.S. 5: 32 dan 45 di atas) hanyalah sekedar menceritakan kondisi hukum pada zaman itu. Hal ini juga sekaligus menjelaskan bahwa hokum itu diberlakukan sesuai dengan karakteristik, adat, sosial dan budaya masyarakat yang hidup pada waktu itu.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Mashalihul mursalah adalah suatu kemaslahatan dimana Syari’ tidak mensyariatkan suatu hukum untuk merealisir kemaslahatan itu, dan tidak ada dalil yang menunjukkan atas pengakuannya atau pembatalannya atau menetapkan hukum suatu masalah yang tidak ada nashnya atau tidak ada ijma’nya, dengan berdasar pada kemaslahatan semata (yang oleh syara’tidak dijelaskan dibolehkan atau dilarang) atau bila juga sebagi menberikan hukum syara’ kepada suatu kasus yang tidak ada dalam nas atau ijma’ atas dasar memelihara kemaslahatan.
Kata ‘urf berasal dari kata ‘arafa, ya’rifu sering diartikan dengan “al-ma’ruf” yang artinya adalah sesuatu yang dikenal. Dan telah menjadi tradisi mereka, baik berupa perkataan, atau perbuatan. ‘Urf juga disebut adat. Menurut istilah para ahli syara’ tidak ada perbedaan antara `urf dan adat kebiasaan, karena kedua kata ini pengertiannya sama, yaitu: suatu perbuatan yang telah berulang-ulang dilakukan menjadi dikenal dan diakui orang banyak.
Berdasarkan keabsahannya, `Urf ada dua macam, yaitu: `Urf yang sahih, dan `Urf yang fasid. Berdasarkan ruang lingkup penggunaannya, `Urf terbagi kepada:‘Urf ‘am(umum) dan ‘Urf khosh (khusus). Sedangkan berdasarkan objeknya, ‘urf terbagi dua yaitu:‘Urf Lafzhy (ucapan) dan ‘Urf Amali (perbuatan)
Syar’u Man Qablana adalah setiap hukum yang disyari’atkan Allah pada umat-umat terdahulu melalui pelantara setiap rasul, Nabi SAW megikuti syariat Nabi Ibrahim AS sbelum mendapat kitab al-Qur’an.
Hakikat syar’u man qablana pada intinya adalah adanya upaya dalam memahami syari’at-syari'at terdahulu sebelum syari’at Nabi Muhammad (Islam), syari’at Nabi Muhammad adalah penutup segala syari’at yang diturunkan Tuhan. Syar’u Man Qablana ada tiga macam bentuknya, yang di nasakh, yang di lanjutkan dan yang di biarkan saja. Ada beberapa pandangan dalam memahami syar'u man qablana. Ada yang memahaminya sebagai pembatas (takhsis), nasikh dan bahkan sebagai metode, tetapi semua ini berkaitan dengan keberlakuan syari'at umat terdahulu, apakah ia masih berlaku atau sudah dibatalkan berdasarkan dalil normatif dalam Alqur’an yang secara tegas menyebutkan hal tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Bazdawi, Ali bin Muhammad. t.t. Ushûl Bazdawî: Kanzû al-Wushûl ilâ Ma'rifati al-Ushûl, Karatisy: Jawid Baris
Bakri, Asafri Jaya. 1996. Konsep Maqashid Syari'ah Menurut al-Syathibi, Jakarta: Raja Grafindo Persada
Cholil, Harisuddin, M. Ag. 2003. Ushul Fiqh I. Nganjuk: STAIM Press
Ghazali, Abi Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad., 2000, al-Mustashfâ fî Ilm al-Ushûl. Libanon: Dar al-Kutub al-Ilmiyah
Hanafie . A . 1993 . Ushul Fiqh . Jakarta : Widjaya Kusuma
Hazm, Ibnu. 1404. Al-Ihkâm fî Ushûl al-Ahkâm, Juz 5, Kairo: Dâr al-Hadits
Khallaf, Abdul Wahhab. 1978. Ilmu Ushûl al-Fiqh, Kairo : Dar al-Qalam
Nuruddin, Amiur. 1991. Ijtihad Umar bin al-Khaththab: Studi tentang Perubahan Hukum dalam Islam, Jakarta : Rajawali Pers
Yahya, Mukhtar dan Fatchurrahman. 1993. Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islami, Bandung: al-Ma'arif
Zuhaily, Wahbah. 2001. Ushûl al-Fiqh al-Islâmy, Jilid 1 dan 2, Syuriah: Dâr al-Fikr