DIMENSI PENDAPATAN DAN PENGELUARAN
DIMENSI PENDAPATAN DAN PENGELUARAN
Bagian pertama ini akan menjelaskan secara garis besar potret/corak kemiskinan di masing-masing kabupaten/kota yang akan menjadi basis penilaian untuk melihat ketimpangan pendapatan dan konsumsi baik di kawasan rural maupun di kawasan urban. Pertama, kemiskinan di desa ditandai oleh problem penguasaan aset produktif, terutama lahan pertanian. Sempitnya penguasaan lahan pertanian menyebabkan rendahnya tingkat pendapatan dari sektor ini, sehingga alternatif sumber penghidupan harus dicari dari sektor lain. Sebagaimana ditemui di Desa Argomulyo, petani gurem masih harus menjual tenaganya di lahan milik orang lain atau menjadi buruh penambang pasir karena lahan yang dimiliki tak mampu menopang penghidupannya. Di Desa Nglipar Gunungkidul, keterbatasan aset produktif di desa memaksa masyarakatnya bermigrasi ke luar desa sebagai strategi penghidupan.
Kedua, di samping problem penguasaan aset, orientasi masyarakat petani di desa rural (meski tidak semuanya) bukan pada akumulasi laba melainkan subsistensi dan bagian dari strategi ketahanan pangan baik rumah tangga maupun komunitas. Kondisi semacam ini diidentifikasi pemerintah daerah sebagai rendahnya nilai tambah dari sektor pertanian yang dilihat dari kontribusi sektor ini bagi produk domestik regional bruto (PDRB). Pemerintah DIY berupaya mendorong peningkatan kontribusi PDRB sektor ini dengan mengembangkan pertanian dengan nilai tambah yang tinggi, seperti pertanian organik dan agribisnis.
Pemerintah DIY sebenarnya menyadari adanya ketimpangan pembangunan antar kabupaten dan kota di DIY. Kemiskinan DIY, salah satu penyebabnya adalah kegiatan ekonomi yang lebih banyak dinikmati oleh masyarakat perkotaan, terutama di Kota Yogyakarta dan Kabupaten Sleman. Ketimpangan investasi asing dan domestik di DIY berpengaruh pada penyerapan tenaga kerja yang hanya mencapai 56 persen dari target 2016. Sektor pertumbuhan ekonomi di DIY memang tumbuh, namun belum merata. Dari total 150 investasi domestik (PMDN) di DIY, 109 di antaranya ada di Kota Yogyakarta dan Sleman (setara dengan 72,67 persen) (Tempo, 3 Mei 2017). Bagi Bappeda DIY, upaya mengejar ketertinggalan dari sisi perekonomian ini kemudian didorong dengan upaya menaikkan nilai tambah di sektor-sektor perekonomian produktif, terutama pertanian.
Ketiga, kecenderungan resiliensi yang lebih tinggi di perdesaan karena ditopang oleh jaring pengaman sosial dan ikatan sosial komunitas yang lebih kuat serta patronase yang dibangun. Meski demikian, dilihat dari aspek pengeluaran, kelompok miskin menanggung beban pengeluaran lebih besar pada biaya sosial sebagai konsekuensi dari pertukaran sosial (sumbangan) yang lebih mengikat.
Corak berbeda ditemukan di desa-desa di kawasan urban. Kemiskinan di kawasan ini tak lagi semata oleh problem ketiadaan aset, namun juga ketidakmampuan kelompok miskin untuk mengakses pekerjaan di sektor formal yang memberikan tingkat pendapatan yang lebih besar. Akibat dari krisis aset tersebut, kelompok miskin ini hanya mampu bertahan hidup dari sektor pekerjaan informal (tukang parkir, ART, supir, buruh). Mereka yang termasuk ke dalam kelompok kaya bekerja di sektor jasa yang nilai tambahnya lebih besar. Meski tidak sepenuhnya demikian, kecenderungan resiliensi kelompok miskin ini lebih rendah dibandingkan dengan kelompok miskin di desa-desa di kawasan urban. Hal ini sedikit banyak dipengaruhi oleh Ikatan sosial yang cenderung lebih longgar dan relasi sosial yang lebih transaksional di desa-desa di kawasan urban. Kondisi yang hampir serupa terjadi di kelurahan di Kota Yogyakarta.
Baik di desa-desa di kawasan urban maupun rural, rumah tangga miskin menghadapi kondisi dimana standar pengeluaran di atas standar pendapatan sehingga tidak mampu menyisakan sebagian pendapatan untuk investasi, bahkan cenderung defisit. Meski demikian, kondisi semacam ini di kawasan rural dapat diatasi dengan strategi survival dengan memanfaatkan sumberdaya yang ada di sekitar dan berhutang. Selain itu, migrasi juga menjadi salah strategi yang dipilih oleh masyarakat di pedesaan yang tidak memiliki aset produktif yang memadai untuk menopang penghidupan.
Pola pengeluaran di desa-desa di kawasan urban berbeda dengan pola pengeluaran di kawasan rural. Pengeluaran di masyarakat urban dari kelompok kaya dan menengah lebih banyak dialokasikan untuk konsumsi sebagai penanda identitas (social identity) (seperti: rekreasi, belanja di mall, fashion) dan investasi serta asuransi. Pengeluaran pada masyarakat rural dan urban di kelompok miskin kecenderungannya dialokasikan untuk kebutuhan konsumsi harian dan operasional pendidikan.
Berkaitan dengan kondisi ketimpangan pendapatan, Pemkab Gunungkidul mengawali program penanggulangan kemiskinan dengan perbaikan dan sinergi data melalui program penguatan Sistem Informasi Desa yang diberi nama SIDA SAMEKTA atau Sarana Mewujudkan Desa Aktif dan Sejahtera, dimana dengan program integrasi data kemiskinan ini, ada sinergi yang terjadi antara kabupaten dan desa dalam upaya penanggulangan kemiskinan. Data kemiskinan partisipatif dalam SID diharapkan menjadi satu-satunya data yang bisa digunakan semua pemangku kepentingan, termasuk organisasi pemerintah daerah (OPD) di lingkungan Pemkab Gunungkidul untuk menjalankan program programnya.
Di luar itu, kabupaten/kota cenderung menjalankan program sentralistik dari pusat, tanpa banyak melakukan terobosan dalam mengatasi ketimpangan yang ada antara desa dan kota dalam wilayah kabupaten. Hal ini diakui terjadi karena ruang diskresi yang kecil, kapasitas keuangan yang minim serta masih adanya kecenderungan kultur birokrasi yang enggan berinovasi dan memilih mengulang program yang sama dari tahun ke tahun.
Di level desa sendiri, ada upaya yang dilakukan untuk mengatasi problem kemiskinan yang tinggi di desa. Desa Wonosari, misalnya, meski tergolong sebagai desa dengan karakter urban, namun karena instruksi pemerintah kabupaten yang kuat untuk mendorong desa turut berpartisipasi dalam penanggulangan kemiskinan, maka Pemdes Wonosari menginisiasi adanya bantuan bagi warga miskin yang memiliki usaha. Kegiatan ini di antaranya adalah pemberian bantuan peralatan untuk modal usaha produktif. Hanya saja upaya untuk menstimulasi warga miskin yang mau berusaha ini tidak menggunakan mekanisme penganggaran atau melalui APB Desa. Pemdes mengaku takut melakukan perencanaan di APB Desa tersebut karena terbentur aturan di atasnya. Imbasnya, program ini dijalankan melalui konsensus penggunaan dana bagi hasil atau SHU dari UPK. Tahun ini anggaran sebesar Rp 54 juta diberikan untuk 70 warga miskin yang memiliki usaha kreatif, seperti angkringan, penjahit, dan beberapa usaha lainnya.
Dari uraian di atas, kemiskinan di desa di kawasan rural ditandai oleh problem ketimpangan penguasaan aset produktif, terutama lahan pertanian yang mempengaruhi tingkat pendapatan masyarakat. Sementara itu, kemiskinan di desa-desa urban tak lagi semata oleh problem ketiadaan aset, namun juga ketidakmampuan kelompok miskin untuk mengakses pekerjaan di sektor formal yang memberikan tingkat pendapatan yang lebih besar. Dari sisi pengeluaran, beban pengeluaran lebih besar dialami oleh masyarakat miskin di desa-desa rural, terutama terkait dengan pengeluaran untuk pendidikan dan biaya sosial. Di desa-desa urban, beban pengeluaran untuk biaya sosial lebih rendah dan pengeluaran untuk biaya pendidikan relatif tidak menjadi persoalan karena akses fasilitas pelayanan yang lebih terjangkau.
0 Response to "DIMENSI PENDAPATAN DAN PENGELUARAN"
Post a Comment