Makalah Kebijakan Kolonia dalam bidang pendidikan
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pada zaman kolonial pemerintah Belanda menyediakan sekolah yang beraneka ragam bagi orang Indonesia untuk memenuhi kebutuhan berbagai lapisan masyarakat. Ciri yang khas dari sekolah-sekolah ini ialah tidak adanya hubungan berbagai ragam sekolah itu. Namun lambat laun, dalam berbagai macam sekolah yang terpisah-pisah itu terbentuklah hubungan-hubungan sehingga terdapat suatu sistem yang menunjukkan kebulatan. Pendidikan bagi anak-anak Indonesia semula terbatas pada pendidikan rendah, akan tetapi kemudian berkembang secara vertical sehingga anak-anak Indonesia, melalui pendidikan menengah dapat mencapai pendidikan tinggi, sekalipun melalui jalan yang sulit dan sempit.
Lahirnya suatu sistem pendidikan bukanlah hasil suatu perencanaan menyeluruh melainkan langkah demi langkah melalui eksperimentasi dan didorong oleh kebutuhan praktis di bawah pengaruh kondisi sosial, ekonomi, dan politik di Nederland maupun di Hindia Belanda. Selain itu kejadian-kejadian di dunia luar, khususnya yang terjadi di Asia, mendorong dipercepatnya pengembangan sistem pendidikan yang lengkap yang akhirnya, setidaknya dalam teori, memberikan kesempatan kepada setiap anak desa yang terpencil untuk memasuki perguruan tinggi. Dalam kenyataan hanya anak-anak yang mendapat pelajaran di sekolah berorientasi Barat saja yang dapat melanjutkan pelajarannya, sekalipun hanya terbatas pada segelintir orang saja.
1.2. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui dan memahami tentang kebijakan pemerintah kolonia dalam bidang pendidikan !
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Sejarah Pendidikan Islam Pada Zaman Penjajahan Kolonial
Kaum kolonial Belanda berhasil menancapkan kukunya di bumi Nusantara dengan misinya yang ganda (antara imperialis dan kristenisasi). Sejak awal, kedatangan Belanda di Indonesia baik seabagai pedagang perorangan, kemudian diorganisasikan menjadi VOC maupun sebagai aparat pemerintah yang berkuasa dan menjajah. Oleh sebab itu kehadiran mereka selalu mendapat tantangan dan perlawanan dari penduduk. Dengan mayoritas penduduk Indonesia adalah Islam, maka kolonial Belanda harus bisa memahami seluk beluk penduduk tersebut untuk bisa manjadikan bumi Indonesia sebagai jajahan mereka.
Kedatangan bangsa Barat memang telah membawa kemajuan teknologi, tetapi tujuannya adalah untuk meningkatkan hasil penjajahannya. Bukan untuk memakmurkan bangsa yang dijajah . Begitu pula halnya pendidikan mekera telah memperkenalkan sistem dan metodologi baru dan tentu saja lebih efektif, namun semua itu dilakukan sekedar untuk menghasilkan tenaga-tenaga yang dapat membantu segala kepentingan penjajah dengan imbalan yang murah sekali dibandingkan jika mereka harus mendatangkan tenaga dari Barat. Dan kenyataannya, Belanda sebagai penjajah benar-benar mengeruk keuntungan yang sebesar-besarnya dengan memeras tenaga, sumber alam, dan sebagainya. Sementara dilain pihak juga diadakan semacam pembodohan terhadap penduduk pribumi. Karena itu Belanda sebagai penjajah berbeda sekali dengan penjajah yang lain, seperti Inggris. Belanda memang tidak pemberani kalau Inggris meskipun mereka sebagai penjajah tapi tidak menyampingkan kemajuan pribumi terutama dibidang pendidikannya.
Apa yang mereka sebut pembaharuan pendidikan, itu adalah westernisasi dan kristenisasi yaitu untuk kepentingan Barat dan Nasrani. Dua motif inilah yang mewarnai kebijakan penjajahan Belanda di Indonesia yang berlangsung selama tiga setengah abad.
KH. Syaifuddin Zuhri, menggambarkan bahwa rakyat Indonesia yang mayoritas umat Islam memandang orang-orang barat tersebut sebagai penakluk, penjajah dan imperialisme.
Dalam dada penjajahan tersebut begitu kuatnya ajaran dan politikus curang dan licik, seperti Machiavelli, yang antara lain menganjurkan :
KH. Syaifuddin Zuhri, menggambarkan bahwa rakyat Indonesia yang mayoritas umat Islam memandang orang-orang barat tersebut sebagai penakluk, penjajah dan imperialisme.
Dalam dada penjajahan tersebut begitu kuatnya ajaran dan politikus curang dan licik, seperti Machiavelli, yang antara lain menganjurkan :
1) Agama sangat diperlukan bagi pemerintah kolonial.
2) Agama tersebut digunakan uuntuk menjinakkan dan menaklukan rakyat.
3) Setiap aliran agama yang dianggap palsu oleh pemeluk agama yang bersangkutan harus dibawa untuk memecahbelah dan agar mereka berbuat untuk mencari bantuan kepada pemerintah.
4) Janji dengan rakyat tidak perlu ditepati.
5) tujuan dapat menghalalkan segala cara.
Tentang dimulainya penjajahan Barat (Belanda) terhadap Indonesia memang terdapat silang pendapat, diantaranya:
a) Ir. Soekarno (Proklamator Indonesia), menyatakan bahwa penjajahan Belanda, atas Indonesia dimulai sejak tahun 1596, dimana tahun tersebut dia dijadikan batas awal dalam penyusunan periodeisasi sejarah Indonesia. Dimana Indonesia dijajah Belanda selama kurang lebih tiga setengah abad (1596-1942).
b) pendapat yang lain beranggapan bahwa penjajahan di Indonesia secara de facto dan de jure telah dimulai sejak tanggal 1 januari 1800, yaitu sehari setelah VOC gulung tikar dan menyerehkan kekuasaan atas Indonesia kepada pemerintah Belanda di Indonesia. Yaitu pada tanggal 31 desember 1799
2.2. Kebijakan-Kebijakan Pemerintah Belanda Pada Pendidikan Indonesia.
Tiga poin utama dalam politik etis Belanda pada masa itu adalah irigasi, migrasi dan edukasi. Dalam poin edukasi, pemerintah Belanda mendirikan sekolah-sekolah gaya untuk kalangan pribumi. Akan tetapi keberadaan sekolah-sekolah ini ternyata tidak menjadi sebuah saran pencerdasan masyarakat pribumi. Pendidikan yang disediakan Belanda ternyata hanya sebatas mengajari para pribumi berhitung, membaca dan menulis. Setelah lulus dari sekolah, akhirnya mereka dipekerjakan sebagai pegawai kelas rendah untuk kantor-kantor Belanda di Indonesia.
Keengganan pemerintah kolonial Belanda dalam memajukan pendidikan rakyat Indonesia ini bisa dimaklumi, karena masih mendambakan kelestarian penjajahannya. Pemerintah kolonial menyadari, bahwa “Pendidikan akan merupakan dinamit bagi sistem pemerintahan kolonial yang berlaku”. Kebijakannya dalam bidang pendidikan tidak terlepas dari pola politik kolonial-nya. Alasan penyelenggaraan pendidikan pengajaran, lebih ditekankan pada kepentingan pemerintah kolonial daripada kepentingan rakyat jajahannya sendiri, sebagaimana terlihat jelas dalam kebijakan yang menyangkut agama mayoritas pribumi, dalam ordonansi guru maupun dalam ordonansi sekolah liar.
Keengganan pemerintah kolonial Belanda dalam memajukan pendidikan rakyat Indonesia ini bisa dimaklumi, karena masih mendambakan kelestarian penjajahannya. Pemerintah kolonial menyadari, bahwa “Pendidikan akan merupakan dinamit bagi sistem pemerintahan kolonial yang berlaku”. Kebijakannya dalam bidang pendidikan tidak terlepas dari pola politik kolonial-nya. Alasan penyelenggaraan pendidikan pengajaran, lebih ditekankan pada kepentingan pemerintah kolonial daripada kepentingan rakyat jajahannya sendiri, sebagaimana terlihat jelas dalam kebijakan yang menyangkut agama mayoritas pribumi, dalam ordonansi guru maupun dalam ordonansi sekolah liar.
1. Kebijakan dalam bidang pendidikan dan Islam
Kelestarian penjajahan, betapapun merupakan impian politik pemerintah kolonial. Sejalan dengan pola ini, maka kebijakan dalam bidang pendidikan menempatkan Islam sebagai saingan yang harus dihadapi. Pendidikan Barat diformulasikan sebagai faktor yang akan menghancurkan kekuatan Islam di Indonesia.
Kesadaran bahwa pemerintah kolonial merupakan “Pemerintahan kafir” yang menjajah agama dan bangsa mereka, semakin mendalam tertanam dibenak para santri. Pesantren yang merupakan pusat pendidikan Islam pada waktu itu mengambil sikap anti Belanda. Sampai uang yang diterima seseorang sebagai gaji dari pemerintah Belanda, dinilainya sebagi uang haram. Celana dan dasi pun dianggap haram, karena dinilai sebagai pakaian identitas Belanda.
Di mata umat Islam, pemerintah kolonial sering dituduh sebagai pemerintah Kristen, sementara berbagai kebijakannya justeru sering mempersubur tuduhan tersebut. Sekolah-sekolah Kristen yang umumnya diberi subsidi oleh oleh pemerintah kolonial sering mewajibkan pendidikan agama Kristen bagi murid-murid Islam. Sekolah-sekolah Negeri juga sering dimanfaatkan untuk kepentingan propaganda suatu aliran Gereja.
Di mata umat Islam, pemerintah kolonial sering dituduh sebagai pemerintah Kristen, sementara berbagai kebijakannya justeru sering mempersubur tuduhan tersebut. Sekolah-sekolah Kristen yang umumnya diberi subsidi oleh oleh pemerintah kolonial sering mewajibkan pendidikan agama Kristen bagi murid-murid Islam. Sekolah-sekolah Negeri juga sering dimanfaatkan untuk kepentingan propaganda suatu aliran Gereja.
Ketika Van Den Boss menjadi Gubernur Jenderal di Jakarta pada tahun 1831, keluarlah kebijakan bahwa sekolah-sekolah gereja dianggap dan diperlukan sebagai sekolah pemerintah. Dan tiap daerah karesidenan didirikan satu sekolah agama Kristen.
2. Ordonansi Guru
Suatu kebijakan pemerintah kolonial yang oleh umat Islam dirasakan sangat menekan adalah ordonansi guru. Ordonansi pertama yang dikeluarkan pada tahun 1905 mewajibkan setiap guru agama Islam untuk meminta dan memperoleh izin terlebih dahulu, sebelum melaksanakan tugasnya sebagai guru agama, sedangkan ordonansi kedua yang dikeluarkan pada tahun 1925, hanya mewajibkan guru agama untuk melaporkan diri. Kedua ordonansi ini dimaksudkan sebagi media pengontrol bagi pemerintah kolonial untuk mengawasi sepak terjang para pengajar dan penganjur agama Islam di negeri ini.
Pada tahun yang sama pula yakni tahun 1925 Pemerintah kolonial mengeluarkan peraturan yang lebih ketat lagi terhadap pendidikan agama Islam yaitu bahwa tidak semua orang (kiyai) boleh memberikan pelajaran mengaji. Peraturan itu mungkin disebabkan oleh adanya gerakan organisasi pendidikan Islam yang sudah tampak tumbuh seperti Muhammadiyah, Partai Syarikat Islam, dan lain-lain.
3. Ordonansi Sekolah Liar
Sejak Tahun 1880 pemerintah kolonial secara resmi memberikan izin untuk mendidik pribumi. Pada tahun 1932 keluar pula peraturan yang dapat memberantas dan menutup madrasah yang tidak ada izinya atau memberikan pelajaran yang tidak disukai oleh pemerintah kolonial yang disebut Ordonansi Sekolah Liar. Peraturan ini dikeluarkan setelah munculnya gerakan Nasionalisme- Islamisme pada tahun 1928, berupa sumpah pemuda.
Agaknya perlu dicatat beberapa faktor yang ikut mewarnai situasi menjelang lahirnya ordonansi pengawasan ini. Pemerintah kolonial pada saat itu terpaksa mengadakan penghematan, berhubung merosotnya ekonomi dunia, dan terpaksa pula memperendah aktifitasnya termasuk dalam bidang pendidikan. Kebijaksanaan ini membawa akibat sangat majunya pendidikan Kristen di Indonesia. Sementara itu keinginan orang –orang Indonesia untuk memperoleh pendidikan Barat juga semakin berkembang. Ketidak mampuan pemerintah kolonial dalam mengatasi arus yang justru sejalan dengan apa yang digalakannya selama ini, mengakibatkan bermunculannya sekolah suasta pribumi, yang kemudian dikenal sebagai “sekolah liar”. Tetapi karena pengelola dan kurikulum sekolah ini dinilai tidak memenuhi syarat yang ditentukan pemerintah, maka ijazah sekolah tersebut tidak diakui dikantor-kantor resmi. Sekolah liar ini selalu didirikan oleh orang-orang Indonesia dan dimasuki oleh anak-anak Indonesia.
2.3. Beberapa Ciri Umum Politik Pendidikan Belanda
2.3. Beberapa Ciri Umum Politik Pendidikan Belanda
Politik pendidikan kolonial erat hubungannya dengan politik mereka pada umumnya, suatu politik yang didominasi oleh golongan yang berkuasa dan tidak didorong oleh nilai-nilai etis dengan maksud untuk membina kematangan politik dan kemerdekaan tanah jajahannya. Berhubungan dengan sikap itu dapat kita lihat sejumlah ciri politik dan praktik pendidikan tertentu yakni:
1) Gradualisme yang luar biasa dalam penyediaan pendidikan bagi anak-anak Indonesia
2) Dualisme dalam pendidikan dengan menekankan perbedaan yang tajam anatara pendidikan Belanda dan pendidikan pribumi.
3) Kontrol sentral yang kuat, pendidikan dikontrol secara sentral yaitu guru-guru dan orangtua tidak mempunyai pengaruh langsung dalam politik pendidikan. Segala soal mengenai sekolah, kurikulum, buku pelajaran, persyaratan guru, jumlah sekolah, jenis sekolah, pengangkatan guru ditentukan oleh pemerintah pusat.
4) Keterbatasan tujuan sekolah pribumi, dan peranan sekolah untuk menghasilkan pegawai sebagai faktor penting dalam perkembangan pendidikan.
5) Prinsip konkordansi yang menyebabkan sekolah di Indonesia sama dengan di negeri Belanda, prinsip konkordansi ini menurut Kat Angelino menjamin secara mutlak standar pendidikan yang sama dengan di Hindia Belanda dengan di Holland. Prinsip konkordansi mencegah merosotnya taraf pendidikan, seperti dalam hal tertentu banyak sedikit terjadi di India Inggris, di Indo-Cina Perancis dan di Filipina, oleh sebab di sana, prinsip konkordansi dengan negara asal tidak ada.
6) Tidak adanya perencanaan pendidikan yang sistematis untuk pendidikan anak pribumi. Sekitar tahun 1910 terdapat berbagai ragam sekolah rendah bagi anak-anak Indonesia seperti Sekolah Desa untuk anak-anak di daerah pedesaan, Sekolah Kelas Dua untuk anak orang biasa di kota-kota. Sekolah Kelas Satu untuk anak-anak kaum ningrat dan golongan kaya sekolah khusus untuk anak militer, juga untuk golongan aristokrasi di Sumatera, dan di samping itu sejumlah sekolah untuk pendidikan pegawai dan dokter Jawa. Ciri khas dari sekolah-sekolah ini ialah bahwa masing-masing berdiri sendiri tanpa hunungan organisasi anatara yang satu lagi dan tanpa jalan untuk melanjutkannya. Sekolah untuk pendidikan pegawai hanya dapat dimasuki melalui ELS. Sebaliknya untuk anak-anak Belanda telah ada sejak 1860 suatu sistem pendidikan yang mempunyai organisasi yang lengkap sama dengan yang di negeri Belanda yang memungkinkan mereka memasuki universitas melalui sekolah rendah dan menengah yang saling berhubungan erat.
2.4. perbedaan kebijakan di bidang pendidikan antara zaman pemerintahan kolonial belanda dengan pemerintahan pendudukan jepang di indonesia
1. Pendidikan Pada Masa Pemerintahan Kolonial Belanda
Penjajah Belanda dalam perjalanan sejarahnya menunjukkan bagaimana ia menerapkan kebijakan pendidikan yang diskriminatif dan menghalangi pertumbuhan pendidikan lokal masyarakat yang sudah ada. Pada 1882, Belanda membentuk pristerraden yang mendapat tugas mengawasi pengajaran agama di pesantren-pesantren. Pada 1925, Belanda mengeluarkan peraturan bahwa orang yang akan memberi pengajaran harus minta izin dulu. Pada 1925, terbit goeroe-ordonnantie[2] yang menetapkan bahwa para kiai yang akan memberi pelajaran, cukup memberitahukan kepada pihak Belanda. Peraturan-peraturan itu semua merupakan rintangan perkembangan pendidikan yang diselenggarakan oleh para pengikut agama Islam (Rifa’i, 2011: 56).
2. Pendidikan Pada Masa Pemerintahan Pendudukan Jepang
2. Pendidikan Pada Masa Pemerintahan Pendudukan Jepang
Meski zaman pendudukan Jepang di bumi Nusantara sangatlah singkat, tetapi pengaruhnya bagi perkembangan dunia pendidikan di Indonesia sangatlah besar. Tujuan pendidikan pada masa itu telah disisipi misi Nipponisasi dan juga upaya-upaya pemberdayaan bangsa Indonesia untuk membantu kepentingan perang Jepang. Misi tersebut dilakukan dengan mendekati tokoh-tokoh kiai yang menjadi panutan umat Islam agar dapat dijadikan sandaran politik mereka. Pertemuan antara 32 ulama gerakan Gunseikan pada 7 Desember 1942 berisi tukar pendapat mengenai ke-Islam-an dan komitmen Jepang untuk melindungi adat dan agama Islam, tidak mencampuri lembaga keagamaan bahkan diperkenankan secara resmi untuk meneruskan pekerjaannya, serta memberi kedudukan yang baik pada mereka yang telah mendapatkan pendidikan agama tanpa membeda-bedakannya dengan golongan lain (Assegaf, 2005).
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Pemerintah kolonial Belanda menjajah negeri kita Indonesia selama kurang lebih tiga ratus lima puluh tahun dan selama penjajahan Belanda menerapkan banyak kebijakan terutama dalam pendidikan yang sangat penting bagi kemajuan bangsa Indonesia diantara kebijakan-kebijakan itu antara lain dalam pendidikan Islam, ordonansi guru, dan ordonansi sekolah liar. Dari kebijakan tersebut pendidikan Indonesia menjadi lumpuh dan tidak diakui oleh pemerintah kolonial, dan para pendidik tidak berani dalam melaksanakan proses pembelajaran yang selayaknya, dan sekolah-sekolah yang didirikan oleh orang Indonesia menjadi sekolah liar yang statusnya tidak diakui oleh pemerintah kolonial dan setiap saat dapat digusur oleh pemerintah kolonial karena tidak meminta izin pada pemerintah kolonial.
3.2. Saran
Demikianlah makalah yang dapat kami sajikan, kami sadar bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan dan oleh karena itu kami minta kritik dan saran yang mebangun dari pembaca sebagai bahan acuan untuk makalah-makalah yang berikutnya. Mungkin hanya itu yang dapat kami sampaikan dan kurang lebihnya kami mohon maaf, semoga makalah ini dapat bermanfaat. Amin
DAFTAR PUSTAKA
Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1995
http://pikokola.files.wordpress.com/2008/11/pendidikan-masa-kolonial-dan-sekarang.pdf
Nasution, S., Sejarah Pendidikan Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika Offset, 1995
Suminto, Aqib, Politik Islam Hindia Belanda, PT Pustaka LP3ES, Jakarta, 1996
Zuhairini dkk, Sejarah Pendidikan Islam, Bumi Aksara, Jakarta, 1997,
0 Response to "Makalah Kebijakan Kolonia dalam bidang pendidikan"
Post a Comment