Model Penanaman Akhlak
Model
Penanaman Akhlak
Islam mengajarkan bahwa setiap manusia di lahirkan kedunia ini dalam keadaan suci (fitrah) Nabi Muhammad SAW menerangkan “tiap-tiap anak di lahirkan dalam keadaan suci bersih, kedua orang tuanyalah yang menyahudikan atau menasranikannya” (H.R. Bukhari Muslim dan Ahmad). Teori tabularasa melukiskan bahwa setiap anak yang lahir adalah laksana kertas putih bersih dan original, sebagaimana yang dikemukakan oleh peadagogik terkenal yaitu Jonh Lock memperkuat kebenaran perkataan Nabi. Di sini jelas bahwa pembinaan akhlak harus di lakukan sejak dini, sebelum kerangka watak dan kepribadian seseorang anak yang masih suci itu di warnai oleh pengaruh lingkungan yang belum tentu paraler dengan tuntunan agama sebelum anak mempengaruhi dengan lingkungan sosialnya pada usia balita itu sepatutnya sianak telah mengenal akhlak dan kesopanan yang baik, melalui perkataan, sikap dan perlakuan ibu bapaknya. Perhatian orang pada masalah pembianaan putra putrinya dan suasana kehidupan keluarga yang harmonis merupakan faktor penyediaan yang berperan lebih dominan dan proses pembentukan karakter dan kepribadian manusia.[1]
Islam mengajarkan bahwa setiap manusia di lahirkan kedunia ini dalam keadaan suci (fitrah) Nabi Muhammad SAW menerangkan “tiap-tiap anak di lahirkan dalam keadaan suci bersih, kedua orang tuanyalah yang menyahudikan atau menasranikannya” (H.R. Bukhari Muslim dan Ahmad). Teori tabularasa melukiskan bahwa setiap anak yang lahir adalah laksana kertas putih bersih dan original, sebagaimana yang dikemukakan oleh peadagogik terkenal yaitu Jonh Lock memperkuat kebenaran perkataan Nabi. Di sini jelas bahwa pembinaan akhlak harus di lakukan sejak dini, sebelum kerangka watak dan kepribadian seseorang anak yang masih suci itu di warnai oleh pengaruh lingkungan yang belum tentu paraler dengan tuntunan agama sebelum anak mempengaruhi dengan lingkungan sosialnya pada usia balita itu sepatutnya sianak telah mengenal akhlak dan kesopanan yang baik, melalui perkataan, sikap dan perlakuan ibu bapaknya. Perhatian orang pada masalah pembianaan putra putrinya dan suasana kehidupan keluarga yang harmonis merupakan faktor penyediaan yang berperan lebih dominan dan proses pembentukan karakter dan kepribadian manusia.[1]
Dalam ajaran
islam, yang ada adalah akhlak karena Rasullah SAW dinyatakan sebagai manusia
yang berakhlak sangat mulia dan menjadi teladan bagi seluruh umat manusia, oleh
karena ini mempelajari akhlak dan perspektif ilmu sangat penting.[2] Dalam agama islam, landasan normatif akhlak
manusia adalah Al-Qur’an dan Sunnah. Nabi Muhammad memiliki akhlak yang paling
mulia. Oleh karena itu, seluruh umat manusia
yang beriman kepada Nabi Muhammad wajib menjadikan akhlak sebagai
perilaku dan suri teladan yang baik.[3]
Kenyataan di lapangan, usaha-usaha pembinaan akhlak melalui berbagai lembaga pendidikan
dan melalui berbagai macam metode terus di kembagkan. Menunjukkan bahwa akhlak
perlu di bina, dan pembinaan ini ternyata membawa hasil berupa terbentuknya
pribadi-pribadi muslim yang berakhlak mulia.[4] Akhlak yang baik tidak dapat di bentuk hanya
dengan pelajaran, intruksi dan larangan, sebab tabiat jiwa untuk menerima
keutamaan itu tidak cukup hanya seorang guru. Menanamkan sopan santun memerlukan pendidikan yang
panjang dan harus ada pendekatan yang lesteri. Pendidikan tidak akan sukses melainkan
dengan pemberian contoh teladan yang
baik dan nyata.[5]
Model pengajaran dalam islam, memiliki karakteristik kesendiri yaitu
dengan melakukan pendekatan yang menyeluruh terhadap wujud manusia, sehingga
tidak ada yang tertinggal dan terabaikan sedikitpun. Model-model penanaman
akhlak yang baik yaitu sebagai berikut:
a. Tāmtsīl
(Perumpamaan)
Model ini di gunakan untuk memudahkan dalam menjelaskan sesuatu immateri
dengan cara memberikan tamtsil agar mudah di cerna oleh rasio. Tamtsil ini
merupakan salah satu model yang dominan di pergunakan untuk menyempurnakan
akhlak yang baik.[6] Tamtsil
adalah menceritaan suatu keadaan dari berbagai keadaan dan membandingkan
keadaan itu dengan keadaan lain-lian yang sama-sama memiliki akibat dari
keadaan tersebut. Perumpamaan itu untuk menjelaskan perbedaan di antara yang
baik dan buruk.[7]
b.
Akal (rasio)
Metode ini merupakan salah satu cara yang di anjurkan Al-Qur’an manusia
di perintahkan untuk mengfungsikan akal secara optimal dalam rangka mencari kebenaran serta membedakan
antara yang hak dan yang bathil.
c.
Memberi Māu’īzhāh
dan Nasehat
Mau’izah berarti tādzkīrt
(peringatan). Yang memberi nasehat hendaknya berulangkali mengingatkan agar
nasehat itu meninggalkan kesan, sehingga orang yang di nasehati tergerak untuk
mengikuti nasehat tersebut. Māu’īzah hendaknya di sampaikan dengan cara menyentuh qālbu, penuh keikhlasan dan berulang-ulang, sehingga akhirnya nasehat itu akan
di rasakan menyentuh qālbu pendengarannya. Kadang-kadang māu’īzah bersumber dari para pemimpin, orang tua, Nabi, Rasul, bahkan juga dari
orang yang lebih kecil, seperti māu’īzah Nabi Ibrahim kepada orang tuanya dan māu’īzah luqman kepada putranya.
Yang dapat di simpulkan sebagai berikut:
1)
Menjadikan Allah
sebagai sumber nilai dan perilaku, dengan beriman dan mengikuti syariat-Nya
2)
Penuh kesahajaan dalam
perilaku termasuk mengabdi kepada Allah.[8]
Dalam kamus Al-Mūẖīth māu’īzah berarti mengingatkannya terhadap sesuatu yang dapat meluluhkan hatinya
dan sesuatu itu dapa berupa pahala maupun siksa, sehingga dia menjadi sadar,
setiap penasehat harus menyucikan diri dari riya karena dengan demikian,
ketulusan nasehetnya tidak bercampur dengan pamrih sehingga lenyaplah pengaruh
terhadap siswa. Pemberi nasehat harus menuturkan kembali konsep-konsep dan peringatan-peringatan
kedalam ingatan objek nasehat sehingga dapat mengugah berbagai perasaan, dan
emosi yang mendorongnya untuk melakukan amal shaleh dan bersikap dengan akhlak
yag baik.[9]
Nasehat
berguna memantapkan aspek pengekangan diri dari berbagai hal yang tidak baik atau
perbuatan sewenang-wenang. Nasehat akan membangkitkan perasaan-perasaan
ketuhanan yang telah di kembangkan dalam jiwa setia anak didik melalui dialog,
pengalaman, ibadah.[10]
d. Targhib dan tarhib
Tarhib
adalah janji terhadap kesenangan, kenikmatan akhirat yang di sertai byukan.
Tarhip adalah ancaman karena dosa yang yang dilakukan. Targhib bertujuan agar
kita mematuhi aturan Allah. Tarhib demikian juga, akan tetapi penekanannya
berbeda. Targhib mendorong kita agar melakukan kebaikan. Sedangkan tarhib mengancam
kita agar menjauhi kejahatan.Metode ini didasarkan atas fitrah (sifat kejiwaan)
manusia, yaitu sifat keingginan kepada kesenangan, kesalamatan, dan tidak
menginginkan kepedihan dan kesengsaraan. Ganjaran di berikan atas ketepatan yang di capai sedangkan hukuman yang di
berikan atas kesalahan yang di lakukan, perilaku manusia dalam pergaulan sangat
beragam, ada yang mengikuti aturan dan ada yang menyalahi dan mengingkarinya.[11]
e.
Keteladanan
Keteladanan
merupakan salah satu metode pendidikan yang di terapkan Rasulullah dan paling
banyak yang berpendapat bahwa
pendidikkan dengan teladan merupakan metode yang paling berhasil. Abdullah
Ulwan misalnya sebagaimana di kutif oleh Hery Noer Aliy menyatakan bahwa
pendidikan akan merasa mudah mengkumunikasikan pesannya secara lisan. Namun
anak akan merasa kesulitan dalam memahami pesan itu apabila pendidikkannya tidak memberi contoh
tentang pesan yang di sampaikan.[12]
Pada dasarnya kebutuhan manusia akan figur teladan bersumber dari
kecenderungan meniru yang sudah menjadi karakter manusia. Peniruan bersumber
dari kondisi mental seseorang yang senantiasa merasa bahwa dirinya berada dalam
perasaan yang sama dengan kelompok lain.[13]
Nilai-nilai edukatif dalam keteladanan yang berpindah kepada peniru
melalui beberapa bentuk yaitu sebagai berikut:
a) Pemberian pengaruh secara spontan
Pengaruh yag tersirat dari sebuah keteladanan menentukan sejauh mana
seseorang memiliki sifat yang mampu
mendorong orang lain untuk meniru dirinya baik dalam ilmu pengetahuan maupun
agama.
b) Pemberian
pengaruh secara sengaja
Pemberian pengaruh secara keteladanan bisa juga di lakukan secara
sengaja misalnya, seorang pendidik menyampaikan model bacaan yang di ikuti oleh
anak didik.[14]
Perbuatan Rasulullah merupakan perbuatan yang di
bimbing oleh wahyu sehingga merupakan keteladanan bahkan di sebut sebagai ūswāh hāsānāh. Sekarang ini, keteladanan menjadi tradisi normatif yang membentuk
menjadi sistem sosial. Hal itulah yang paling fundamental dalam mamaknakan
sunnah sebagai keteladanan yang berawal dari perilaku Rasullah SAW.[15]
[1]M. Fuad Nasar, Agama
Di Mata Remaja, (Jakarta :
Enerasa raya 1992), h. 43-44.
[2]Damanhuri, Akhlak
Tasawuf..., h. 8.
[3]Damanhuri, Akhlak
Tasawuf..., h. 51.
[4]Ahmad Mustafa, Akhlak
Tasawuf, Cet : II, (Bandung: Pustaka Setia, 1999), h.155.
[5]Ahmad Mustafa, Akhlak
Tasawuf..., h. 163.
[6]Saifullah, Nalar
Pendidikan Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2010), h. 58.
[7]Abdurrahman An
Nahlawi, Pendidikan Islam di Rumah Sekolah dan Masyarakat, (Jakarta:
Gema Insani, 1995), h. 259.
[8]Saifullah, Nalar
Pendidikan Islam..., h. 59.
[9]Abdurrahman An
Nahlawi, Pendidikan Islam di Rumah Sekolah dan Masyarakat..., h.
289-291.
[10]Abdurrahman An
Nahlawi, Pendidikan Islam di Rumah Sekolah dan Masyarakat..., h. 293.
[11]Saifullah, Nalar
Pendidikan Islam..., h. 59.
[12]Hery Noer Aliy, Ilmu
Pendidikan Islam, (Jakarta, Priska Agung Insani, 2000), h. 178.
[13]Abdurrahman An
Nahlawi, Pendidikan Islam di Rumah Sekolah dan Masyarakat,..., h. 263.
[14]Abdurrahman An
Nahlawi, Pendidikan Islam di Rumah Sekolah dan Masyarakat,..., h.
266-267.
[15]Beni Ahmad Soebani, Ilmu Akhlak..., h.
74.